9

3.4K 367 29
                                    

MENYAPA PRAHARA

Setiap ujian yang Allah berikan tidak akan melebihi batas kemampuan seorang hamba. Menyikapi masalah hidup bukan ditilik dari berapa beratnya masalah itu melainkan bagaimana mengikhlaskan setiap kejadian yang sudah ditentukan Allah.

Berusaha menjadi lebih baik, manusia dituntut untuk selalu menjadikan pengalaman sebagai pengajaran hidup, tanpa mengenyampingkan dan menganut teladan Rasulullah SAW.

Bersimpuh atas sajadah panjang yang terulur di Musholla, Asyraf bermunajat pada Rabb-nya untuk kebaikan Atiqa. Air mata menemani harap dalam doa-nya. Beristighfar untuk hati yang kembali bergejolak. Semua akan indah, ketika harap disandarkan pada Pencipta, Insya Allah.

"Asyraf ke mana Ummi?"

Ummi menyeka ujung mata dengan jilbab panjangnya. Ini pertama kali Atiqa masuk rumah sakit selama hidupnya. Wanita paruh baya itu beruntung, Allah masih menyisakan umur untuk menjaga putrinya.

"Tadi pamit ke Mosholla, Bi."

Waled Hasan memandang lurus ke depan, memikirkan keadaan putrinya, juga kelanjutan hubungan Atiqa dan Asyraf. Mungkin mereka akan menjalani masa sulit. Sebagai orang tua, ia akan memberi wejangan pada Atiqa nanti. Terpenting Atiqa sadar untuk saat ini.

"Keluarga saudari Atiqa?" suara dokter laki-laki menyapa. Dokter Safwan spesialis penyakit dalam, mengajak Waled Hasan mengikutinya ke ruangan.

"Bagaimana putri saya dokter?"

Dokter Safwan merasa tidak enak karena ia sempat tidak mengingat wajah waled Hasan, pemilik pesantren yang ada di kabupaten Bireun.

"Sebelumnya, saya minta maaf Waled. Saya tidak tahu kalau pasien saya putri Waled."

Waled Hasan tersenyum ramah, "Tidak apa-apa, dokter."

Dokter Safwan mengangguk sopan, "Sebelumnya, saya ingin bertanya. Apa dari keluarga ada yang mengalami penyakit jantung?"

Pelan, waled Hasan menggeleng. Tidak ada yang mengidap penyakit tersebut pada keluarganya. Bingung, waled Hasan mengutarakan rasa penasarannya.

"Apa, Atiqa menunjukkan penyakit itu?"

"Maaf Waled, ini baru gejala. Sirkulasi darah terhambat, sehingga oksigen tidak mencapai titik otak. Kalau saja, Atiqa tidak langsung dibawa ke sini, saya tidak tahu apa yang akan terjadi." dokter Safwan menjelaskan keadaan Atiqa secara profesional.

Waled Hasan tercenung. Benar, ia tadi sempat melihat wajah dan bibir putrinya sedikit biru.

"Usahakan yang terbaik, dokter. Kami hanya bisa berdoa."

Asyraf sudah menunggu di depan ruangan dokter Safwan yang masih tertutup bersama ummi. Matanya masih merah, sisa tangis menghadap Rabb. Mengeluh kekurangan dalam menggapai ridho-Nya.

Harap cemas tak bisa dipendam lagi, ketika perlahan pintu ruangan itu terbuka. Asyraf menatap wajah ayah mertuanya.

"Apa kata dokter, Abi? Atiqa sakit apa?" Asyraf bertanya dengan nada cemas.

"Gejala sakit jantung." waled Hasan melihat wajah lelah menantunya, "Kita harus banyak berdoa untuk kebaikan Atiqa."

Asyraf tertegun, darahnya menumpuk di satu titik. "Jantung?"

Ummi terisak, wanita itu mencari tempat duduk yang berada di depan ruangan Dokter Safwan. Waled Hasan menemani ummi dan menyuruh untuk tenang dan tak putus dari dzikir.

Ponsel Asyraf berbunyi, menandakan panggilan masuk. Posisinya masih berdiri di depan ruangan dokter Safwan. Lututnya lemas, penyangga terkuat runtuh hingga tubuhnya perlahan merunduk.

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang