Ketika sedang bahagia, jangan lupa luka kian mendekat. Pun sebaliknya, bersiaplah untuk bahagia setelah air mata menyapa hari. Itu petuah bijak dari ustdzah Mukaromah guru kajian forum dakwah yang diikuti Atiqa.
Meninggalkan sosok yang harus ditakzimi selagi nyawa dikandung badan pergi ke negara yang sedang dilanda konflik menyusul sahabatnya Mehran. Awal tujuan yang baik menurutnya namun tidak semulus niatnya.
Sesuai arahan Mehran, wanita satu Fakultas dengannya ketika di Mesir. Atiqa harus mengambil tiket penerbangan ke Jeddah sebelum berangkat ke Suriah. Di sana ia akan dijemput oleh rekan Mehran.
Fahira, wanita berniqab hanya menampakkan mata yang terbingkai dengan kaca mata coklat. Lambaian tangannya menerbitkan senyum istri kedua Asyraf.
"Sudah lama?"
Atiqa terkejut mendengar wanita tersebut menyapanya dengan bahasa indonesia yang bagus.
"Baru saja-----" Atiqa menggantungkan kalimatnya ketika Fahira merangkulnya dan mencium tiga kali pipinya secara bergantian.
"Kita berangkat sekarang ya?
Kamu pasti lelah setelah penerbangan hampir sembilan
jam."
Atiqa mengangguk, itu tidak masalah baginya. Ia beberapa kali pulang pergi Mesir - Indonesia.
Sebuah mobil membawa kedua wanita itu ke sebuah perkarangan rumah besar yang banyak ditumbuhi pohon hijau dan bunga kecil.
"Maaf merepotkan." Atiqa menutup pelan pintu mobil ketika ia sudah turun dan Fahira sudah berada di sampingnya.
"Jangan sungkan," balas Fahira.
Mereka tersenyum bersama, lantas melanjutkan langkahnya masuk.
Sebuah kamar lengkap dengan lemari dan cermin. Sedangkan kamar mandi berada di pojok kamar. Fahira menyuruh tamunya untuk beristirahat sambil menunggu adzan maghrib.
Tidak ada yang istimewa selain perlakuan Fahira kepada Atiqa. Karena hatinya mulai dirundung rindu pada suami. Pertama ia pergi karena tuntutan sahabat sekaligus menepati janjinya. Yang kedua karena ingin memberi ruang pada hatinya memikirkan hubungan yang dikatakan takdir. Benarkah kalau tidak menerima takdir dalam kehidupan hati merasa miskin dan jiwa terasa hampa? Benarkah apa yang dilakukan putri waled Hasan tersebut?
Sepertinya, iya.
Hatinya sangat merindu, padahal baru satu minggu berada di kota yang mendapat julukan 'kota tengah pasar'. Tidak ada kegiatan, ia hanya sendiri di rumah kalau Fahira pergi.
"Belum ada kabar dari Mehran. Kamu betah 'kan di
sini?"
Atiqa mengangguk ketika hampir setiap hari Fahira menyampaikan kabar tentang Mehran, sahabat mereka dan juga pertanyaannya itu.
Atiqa betah, tapi ia hanya rindu. Sangat rindu.
Berulang kali dipandangi nomor suaminya yang tidak diketahui keadaan selama satu minggu ini. Foto pernikahannya tidak luput dari netranya ketika malam menyelimuti. Matanya tidak akan terpejam kalau belum melihat foto suaminya.
Hingga tiga bulan Mehran juga belum memberi kabar, melihat Atiqa sering murung, Fahira mengajak wanita yang sudah dikenalnya satu bulan ini mengunjungi yayasan yatim piatu milik orang tua Fahira.
Banyak anak-anak di sana, berlarian di taman Asoka. Mungkin ini baik untuk pengalihan rasa rindu ini, batin Atiqa.
Benar saja, tidak butuh waktu lama ia sudah dekat dengan beberapa anak kecil di sana. Sambutan dari pengurus yayasan pun sangat ramah.
Walau sedikit sungkan berbicara karena dasarnya Atiqa memang pendiam tapi dengan Yadha, wanita sepantaran dengannya, ia sedikit nyaman.
Bukan hanya Atiqa yang sedang menahan rindu. Asyraf, yang masih berstatus sah sebagai suami putri kedua waled Hasan tersebut pun sama.
Kepergiannya ke Suriah tidak terlaksana disebabkan beberapa faktor diantaranya tidak ada izin dari kementrian Indonesia yang berada di sana. Suasana di sana cukup mencekam, penerbangan pun dibatasi bahkan dibatalkan.
Tiga bulan lebih merindukan istrinya bukan waktu yang singkat.
Siang itu terik, matahari menjadi saksi ketika lekaki tersebut berhasil menghubungi Mehran, hal yang pertama ditanyakan adakah keadaan istrinya.
Bagai dihantam petir, ketika Asyraf mendengar kabar bahwa Atiqa tidak bersama sahabatnya karena ada beberapa hal sehingga menyebabkan wanita itu tidak bisa berangkat.
Saat diamnya menendang ulu hati menyimpan denyut luka dan menyisakan sesak di sana, sujud syukur dipanjatkan Asyraf kala Mehran mengatakan bahwa Atiqa berada di Jeddah.
Tidak menunggu lagi, Asyraf yang sedang berada di Jakarta langsung ke Bandara dan memesan tiket ke Jeddah. Hatinya bersambut ria rasa tak menentu itu kala alamat keberadaan istrinya masuk ke email lelaki itu.
Setelah sepuluh jam penerbangan karena cuaca buruk, kini lelaki itu sudah berada di depan sebuah rumah besar satu lantai dengan warna putih yang sudah pudar.
Ketika tangannya akan mengetuk pintu rumah
tersebut, seseorang membukanya. Dengan kepala tertunduk seperti sedang mencari sesuatu tanpa menyadari keberadaan lelaki itu.
Asyraf bisa mendengar gumaman wanita itu.
Terdengar sedikit kesal dan itu manis menurutnya. Karena wanita berniqab tersebut belum menyadari keberadaannya dan terus sibuk dengan pencariannya, Asyraf memeluk wanita yang membelakanginya itu. Dan otomatis ia mendapat serangan tiba-tiba dari wanita itu.
"Abang rindu." bisikan tersebut membuat wanita itu berhenti memukul tangan yang yang memeluknya.
Asyraf bisa merasakan tubuh wanita itu kaku dakam pelukannya. Dagunya disandarkan pada bahu tersebut. Isakan kecil terdengar menusuk rungu lelaki itu.
Perlahan ia membalikkan tubuh wanita yang sangat dirindukannya dan menangkup wajah yang tertekuk itu. "Tidak rindukah mata itu
melihat----"
Senyum lebar pengganti kalimat terbit, kala wanita tersebut memeluknya dengan isakan yang kuat. Asyraf bisa merasakan sesuatu, sakit dan bahagia menyatu ketika sesuatu itu berada diantara pelukan keduanya.
Sakit mendapati kenyataan yang seharusnya sudah ia ketahui dan bahagia ia bisa kembali melihat wajah istrinya.
Suara dehaman seseorang menghentikan aktivitas keduanya. Dengan kikuk, Atiqa melepaskan pelukannya. Namun tangannya mengamit erat lengan kokoh itu.
Lirikan penuh tanya dilayangkan wanita yang sudah berani menghentikan adegan tersebut.
"Maaf. ini suamiku." betapa bahagia Atiqa bisa kembali menyebut kata 'suamiku' dengan bangga.
Fahira mengangguk. Ia mempersilakan keduanya masuk dan berbicara di dalam.
Karena Fahira pulang hanya sebentar, jadi ia tidak bisa lama menemani pasangan kasmaran itu karena harus segera pergi.
"Sejak kapan ada dia di sini?" tanya Asyraf begitu Fahira pergi dan sudah berada sangat dekat dengan Atiqa. Tangannya mengusap lembut perut yang tengah mengandung permatanya.
Mata Atiqa terlihat kaget mengetahui Asyraf begitu cepat menyadari kehamilannya.
"Bagaimana Abang tahu?" "Adek keluar dengan pakaian tertutup seperti ini saja Abang
kenali. Apalagi darah sendiri?"
Mata wanita itu kembali berair, ketika dengan lembut suaminya mengakui anak yang dikandungnya.
"Abang bahagia?"
"Sangat sayang, Abang sangat bahagia melihat Adek dan mengetahui ada darah Abang yang sedang menyatu dalam tubuhmu."
Dengan lembut, Asyraf memeluk wanita tersebut. Keduanya menyalurkan rindu yang sempat dihalang waktu dan tempat tanpa memperdulikan hawa dan rasa yang sedang bercampur.
Nikmat, itulah yang dirasakan keduanya. Ketika iman membentengi diri, memenangkan satu hal yang akan diridhoi Allah setelah mengingkari takdirnya.
Tidak ada rangkaian kata, puisi dan syair. Hanya syukur yang dipanjatkan pada Rabb atas segala anugerah dan karuniaNya.
Tinggalkan komentar ya 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA DI UFUK MESRA ✔
General FictionFOLLOW DULU AGAR BISA BUKA BAB LENGKAP💕 "Assalamu'alaikum zaujati." "Wa'alaikumsalam." "Hanisya, kenalkan istri Abang, Syarifah maula atiqa." Dua wanita tersebut saling berpandangan, Hanisya istri pertama Asyraf mengulurkan tangan terlebih dahulu m...