17

880 106 8
                                    

.

"Dia memberitahumu, tidak padaku."

Hanisya tidak menjawab, ia duduk di samping suaminya.

"Bahkan dia sudah mengganti nomor telepon." Asyraf berbicara seakan lelaki itu tidak butuh jawaban. Gumamannya terdengar jelas di telinga Hanisya.

"Aku yang gagal, atau dia

yang tidak mau berjuang?"

Lagi, air mata Hanisya menyeruak di sudut mata. Melihat suaminya yang menatap kosong ke depan tanpa sanggup melihat lebih dalam ke netra lelaki tersebut.

Baru kali ini melihat Asyraf duduk terpekur merenung kisah yang juga melibatkan dirinya. Biasanya kalau ada masalah, lelaki itu akan berbicara dengannya. Namun lihat sekarang, apa yang dilakukan Asyraf. Ia hanya duduk dengan mata menatap lurus, sesekali Hanisya mendengar tarikan nafas yang panjang dan berat.

Sekarang, kehidupan lelaki itu sangat berbeda. Ia seperti kehilangan semangat hidupnya. Separuh jiwanya menghilang bersaamaan dengan bjdadari kedua.

Hanisya menyadari perubahan signifikan suaminya. Wanita itu senantiasa berada di sisi Asyraf, mengingatkannya untuk terus berdzikir dan muhasabah diri.

"Aku buatin kolak labu kesukaan Abang," kata Hanisya di sore itu setelah kepergian Atiqa. Kolak labu kuning yang sangat disukai suaminya, namun kali ini wanita itu cukup terkejut ketika mendengar penolakan dari suaminya.

"Abang sedang tidak selera sayang."

Padahal demi apapun, makanan itulah yang disukai Asyraf. Dan makanan itulah yang membuat mood-nya kembali membaik. Tapi tidak untuk kali ini.

Tangan lelaki itu malah memilih mengambil cake caramel buatan Hanisya dan memakannya tanpa terkesan menikmati.

Tiga hari berlalu, dan hari ini Asyraf akan pulang ke Aceh, dia membawa serta Hanisya. Rencana ini sudah lama dipikirkannya, untuk memperkenalkan istri pertamanya kepada keluarga waled Hasan.

Dalam perjalanan tak pernah lepas genggaman tangan lelaki itu pada Hanisya, seolah ia takut akan kehilangan lagi.

Cukup satu.

Dan sudut mata itu kembali basah.

"Kalau Abang begini terus, bagaimana nanti Abang bisa

berbicara dengan abi?"

Asyraf mengangguk, benar. Ia hanya perlu memberitahu apa yang terjadi. Tidak ingin larut dalam kekalutan. Apapun yang dikatakan waled nanti, ia akan menerima.

Sambutan keluarga Atiqa pun sangat baik dan ramah. Ustadz Mansyur dan ustadzah Khalwa ada di sana, mereka sudah menunggu kedatangan Asyraf beserta kakak madu Atiqa.

Setelah ba'da Maghrib, mereka berkumpul di ruang keluarga. Tidak ada ketegangan, keluarga waled Hasan sangat ramah dan tidak mau larut dalam permasalahan yang dibuat putri mereka. Karena mereka berkumpul bukan untuk bersitegang, tapi untuk musyawarah dan mencari jalan keluarnya.

"Tidak ada yang tahu takdir Allah, sekalipun kita sudah memantapkan diri untuk meraih rahmat-Nya." waled Hasan membuka pembicaraan, butiran tasbih terus berputar pelan di jemari yang kontras dengan keriput.

"Begitupun dengan kepergian Atiqa, tidak ada yang tahu rencananya. Khalwa, kakaknya yang cukup dekat denga Atiqa pun tidak mengetahuinya," sambung waled Hasan.

Di dekat ustadzah Khalwa ada ummi, raut lelah dan sedih terlihat mencolok di wajah renta itu, sesekali tangannya mengusap matanya yang berembun.

"Abi sudah menyuruh Kafrawi ke Suriah, kita tunggu kabar saja darinya. Karena abangnya itu baru pergi dua hari yang

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang