🌻🌻🌻
Tiga hari sudah Atiqa berada di Padang satu rumah dengan Hanisya. Hubungan keduanya baik, apalagi Hanisya memperlakukan dara asal Aceh tersebut dengan baik.
Ba'da dzuhur Atiqa keluar dari kamarnya duduk di ruang tengah. Ia mengambil beberapa majalah yang terletak di meja sudut ruangan itu.
Salah satu majalah mengurai tema Syahdu dalam ta'at. Letak ketaatan seorang anak bukan pada segala materi yang ia hamburkan pada orang tuanya, begitupun taat sang istri, bukan hanya memberikan hak dan menuruti perkataan suami. Tetapi ridho dan Ikhlas mencakup dalam ruang lingkup ini.
Sama halnya keta'atan makhluk pada sang Khaliq. Menerima dengan lapang dada segala qadho dan qadar Allah dalam kehidupan. Senantiasa berdoa kebaikan dan keridhoan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Atiqa merenung, selama ini ia tidak pernah menghakimi takdir kehidupannya. Terlahir dalam keluarga paham ilmu agama dan kesederhanaan orang tuanya membuat wanita berkulit kuning langsat itu menerima jalan kehidupannya.
Tapi saat ini ...
Atiqa menoleh ketika terdengar derap langkah di belakangnya. Ia melihat Hanisya keluar terburu-buru dengan selendang biru tua panjang yang menutupi kepalanya tanpa menggunakan peniti alhasil mata Atiqa bisa melihat sekilas hiasan jejak merah di permukaan leher Hanisya.
Hanisya berhenti ketika melihat sosok Atiqa di ruang tengah, "Atiqa sudah makan?" tanyanya sebelum melangkah ke dapur.
Atiqa mengangguk dengan tangan meremas ujung khimarnya.Ia memang sudah makan, walaupun bukan nasi. Ia memilih makan roti yang ia bawa dari Aceh.
Hanisya mengusap bahu Atiqa yang duduk di sofa, "Kakak sudah bilang jangan sungkan. Anggap seperti rumahmu sendiri."
Kembali Atiqa mengangguk, ia melihat Hanisya ke dapur dan tidak lama wanita itu kembali dengan segelas air putih di tangannya.
"Ba'da Ashar kita jalan-jalan, mau ya?" tawar Hanisya ketika ia kembali berpapasan dengan Atiqa.
Atiqa tidak menjawab, hanya ukiran senyum yang ia berikan. Karena memang sedang terburu-buru Hanisya kembali ke kamarnya yang bersebelahan dengan ruang tamu.
Atiqa naik ke kamarnya yang berada di lantai atas. Sungguh ia tidak sanggup dengan keadaan seperti ini.
Sakit Ya Allah. Sungguh sakit, ajarkan hamba Ikhlas ya Allah, racaunya dalam hati.
Hanisya, perempuan tiga puluh tahun yang berhati lembut itu menerimkz permintaan maaf Atiqa yang tidak bisa pergi bersamanya ketika ia mengunjungi wanita itu di kamarnya. Akhirnya ia pergi dengan Asyraf.
Memilih berpuasa dua hari yang lalu untuk meredam kekecewaanya. Atiqa tidak ingin menjadi hamba kufur dan lemah. Ini bukan ujian tapi rahmat Allah dalam kehidupannya.
Atiqa membantu Hanisya menyiapkan makan malam. Ia kebagian menggoreng ikan nila dan mengulek sambal ijo. Sedangkan Hanisya menggulai dendeng sapi. Satu jam makan malam sudah terhidang di meja.
"Alhamdulillah selesai, nikmatnya kebersamaan. Ya kan?"
Atiqa hanya tersenyum merespon ucapan Hanisya. Setelah itu mereka bersiap sholat maghrib berjamaah yang diimami Asyraf.
Melihat Hanisya mencium tangan Asyraf, Atiqa tersenyum getir. Betapa harmonis dan serasi pasangan itu. Ia tidak sadar ketika Hanisya memanggilnya sampai ia merasakan tepukan lembut di punggung tanggannya.
Ia mengambil tangan lelaki itu dan menciumya tanpa melihat wajah Asyraf. Pemandangan tadi siang kembali menari riang dalam benaknya.
"Besok pagi Abang berangkat ke Malaysia setelah mengantar Atiqa," kata Asyraf selesai makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA DI UFUK MESRA ✔
Fiction généraleFOLLOW DULU AGAR BISA BUKA BAB LENGKAP💕 "Assalamu'alaikum zaujati." "Wa'alaikumsalam." "Hanisya, kenalkan istri Abang, Syarifah maula atiqa." Dua wanita tersebut saling berpandangan, Hanisya istri pertama Asyraf mengulurkan tangan terlebih dahulu m...