16

901 118 13
                                    

Suasana semakin ramai ketika sore menjelang. Para tamu yang hadir ikut memeriahkan acara resepsi pernikahan sepupu Asyraf. Keluarga besarnya pun sibuk menyambut pada tamu yang datang dari berbagai kalangan sehingga tidak menyadari sedang ada ketegangan di wajah keponakannya, Asyraf.

Hanisya memberi waktu untuk

Asyraf berbicara dengan Atiqa. Ini hanya masalah komunikasi saja menurut wanita itu. Semakin dipendam semakin larut, dan tidak akan menemui titik terang.

Mereka tidak berada di kamar. Lebih tepatnya, Asyraf dan

Atiqa berada di rumah pakcik Azhar, berselang dua rumah dengan rumah Wulan. Asyraf lah yang mengajak wanita itu ke sana.

"Maaf, aku tidak sengaja meninggalkan acara itu." Atiqa mulai berbicara, ia sudah membaca pesan dari Hanisya yang menyuruhnya kembali karena ada sesi pemotretan dan wajah Asyraf sangat tidak bersahabat.

"Apa begitu penting teleponmu?" tanya Asyraf sarkastik. Tatapannya datar, hanya sedikit gurat tegang yang tersisa.

Atiqa mengangguk, matanya tidak lepas menatap wajah dihadapan. Merekam dengan jelas wajah lelaki yang sudah dijatuhkan hatinya.

"Lusa, aku harus berangkat.

Karena aku sudah berjanji."

Bagaikan petir di siang hari, sungguh itu yang dirasakan lelaki yang mengenakan baju batik bermotif bulu dan mata cendrawasih berwarna coklat keemasan.

Mereka sedang berbicara perihal ketidak hadiran wanita itu ketika foto bersama tadi, tapi wanita tersebut membahas kepergiannya?

Apa ada hubungan dengan kejadian semalam, pikir Asyraf.

"Berangkat? Ke mana, sampai kamu tidak membutuhkan izinku?"

"Aku sudah meminta izin," balas Atiqa, hatinya sedikit nyeri mendengar sebutan 'kamu' dari suaminya.

"Kamu hanya mengatakan harus pergi, bukan meminta

izin!"

Sungguh, ini kali pertama kalimat yang keluar dari mulut seorang Asyraf bernada tajam.

Ludah itu terasa pahit, lidahnya seolah kelu. Pikiran dan logikanya sedang berperang di dalam sana.

"Maaf. Aku tetap harus per---" Atiqa tidak melanjutkan kalimatnya melihat laki-laki itu sudah bangun dan membelakanginya.

"Pergilah kalau dari dulu memang itu keinginanmu. Pergilah. Aku ridho. Pergilah kemanapun yang engkau mau, bukankah memang engkau harus pergi, karena aku harus kembali pada istri dan cinta

pertamaku?"

Kejam, ya. Lelaki itu mengakuinya. Biar, asalkan wanita itu bahagia dan pergi. Ia ikhlas, sungguh. Ia merelakannya. Biar remuk hati ini, ia dan Tuhannya yang tahu. Tidak ada arti perjuangannya selama ini kalau wanita itu tidak mau membuka mata apalagi menghargainya.

"Kita pulang. Saya tunggu di mobil."

Asyraf keluar, meninggalkan wanita yang akan menjadi kenangannya. Wanita yang sudah ia labuhkan hati sejak pertama kali melihatnya. Wanita pilihan orang tuanya, yang pernah ia jadikan pilihan kedua setelah Hanisya.

Nada tajam dan terkesan formal berbekas di hati Atiqa.

Sudah saatnya, ia pergi. Meninggalkan sesuatu yang memang bukan miliknya. Sesuatu yang sudah menjadi bukti, bahwa dirinya sakit kalau memaksa terus bersama.

Kalimat itu, kalimat yang memberitahu posisi yang sebenarnya. Posisinya dalam mahligai ini. Iya. Wanita itu tetap berada di posisi kedua, setelah Hanisya.

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang