18

745 75 6
                                    

"Pergilah Bang, jemput Atiqa."

"Abang akan pergi, tapi tidak

dengannya."

"Sekarang, hanya bang Ubay

yang bisa membantu kita."

"Abang bisa sendiri."

Hanisya menghela nafas berat, tangannya perlahan membuka mukena dan menggantungkan di belakang pintu.

Ba'da subuh, Asyraf masuk ke kamarnya dan mengatakan akan pergi menyusul Atiqa. Sedikit adu argumen karena Asyraf tidak ingin pergi dengan Ubaydillah, salah satu ketua Forum dari Medan yang sudah lama aktif di Turki.

"Singkirkan ego Abang dulu, Abang tidak lupakan dengan keadaan Atiqa di sana?" "Ada yang lain sayang, kenapa harus Ubay?"

Hanisya tersenyum, sudah lama sekali tidak melihat suaminya seperti ini. Ubaydillah, sahabat mereka saat satu kajian dakwah kampus, yang pernah menyatakan cinta ketika mereka selesai kajian. Tepat saat itu Asyraf berada di sana, maka terjadilah pertengkaran. Bukan seperti pertengkaran biasa, namun lebih parah dari itu, Asyraf memilih mendiamkan Ubay. Hingga Ubay meminta maaf, ketika menyadari Asyraf dan Hanisya sudah dekat, mungkin lebih dari sahabat.

"Tidak akan jatuh harga diri suamiku, hanya karena meminta bantuan pada seorang

Ubay."

Sejuk dan damai. Begitulah yang dirasakan Asyraf setiap mendengar ucapan Hanisya ketika dirinya galau.

Akhirnya Asyraf menerima usulan istrinya. Mereka akan menjadwalkan keberangkatan ke negara tersebut setelah bertemu dengan Ubay.

Hanisya mengurus keberangkatan suaminya dan ustadz Wirza setelah menghubungi Ubay via group dakwah. Dan memutuskan akan bertemu di Jakarta, karena posisi Ubay sedang berada di sana.

Berat, sebagai seorang istri melepaskan kepergian suaminya ke Negara yang sedang dilanda konflik. Namun bagaimana lagi, di sana juga ada sosok yang masih menjadi tanggung jawab suaminya.

"Besok Abang berangkat, aku

mau meminta sesuatu." 

Asyraf tersenyum, ponsel di tangannya diletakkan begitu saja di nakas samping ranjang.

"Apapun untukmu sayang, Insya Allah. Abang penuhi." tangannya mengambil tangan sang istri dan menyatukan dalam genggamannya.

"Pergilah hingga sampai tujuan, dan jika Allah mengizinkan pulanglah dengan

selamat."

Hanisya bisa merasakan deru hangat nafas suaminya kala mencium keningnya.

"Untukmu dan untuknya selalu." Asyraf menjauh dari kening Hanisya. Mata mereka saling bertubrukan, menyelami ke dasar paling dalam.

"Insya Allah," sambung Asyraf. Tangan wanita itu dikecupnya lama dan dalam, seraya berbisik, "Doa mu yang selalu mengiringi ke manapun langkah dan hati hati tertuju."

Senyum keduanya terbit dalam posisi Asyraf masih menunduk mencium tangan. bidadari pertamanya.

"Redamkan marah Abang, bagaimanapun Atiqa juga istri Abang, Insya Allah dia akan

menerima takdir ini."

Asyraf mengangguk, benar. Atiqa akan menerimanya, wanita itu hanya membutuhkan waktu.

Ia menyesal karena saat di Padang, emosinya tidak bisa dikendalikan, sehingga dimanfaatkan dengan baik oleh Atiqa yang beralasan untuk pergi.

Sungguh, lelaki itu selalu meminta semoga cintanya pada kedua istrinya itu dalam ridho dan karunia Allah. Tidak ingin mata hati membutakan setiap rasa yang terselubung. "Abang minta do'amu sayang. Doa untuk kita bertiga dan

anak cucu kita, Insya Allah."

Hanisya mengangguk, dengan sudut mata mulai cair. Ia tahu, suaminya memiliki hati yang lembut, tidak menyimpan dendam hanya naluri yang begitu sensitif ketika menyangkut seseorang yang pernah mampir dalam kehidupan istrinya.

Semoga, Atiqa tidak memiliki kenangan yang berarti dengan lelaki masa lalu. Ia ingin bahagia bersama adik madu dan suami mereka, membina rumah tangga hingga malaikat maut hadir di depan mata.

Dua tahun lebih hidup bersama sang suami, Hanisya sudah khatam perilaku dan tingkah suaminya. Hal sekecil apapun , pasti wanita itu tahu. Oleh karena itu, ketika keluarga Yusuf melamarnya dan memberitahukan akan kehadiran Atiqa, salah satu putri pemilik pondok pesantren di Aceh, ia menerima dengan lapang dada.

Wanita yang berusia 30 tahun itu memiliki sikap bijaksana, ia sudah menahan diri agar tidak menerima lamaran Asyraf kala itu. Sholat Istikharah dilakukannya hampir setiap malam. Ia ingin keputusan yang mantap dari Rabb nya agar ikhlas dan benar jalan yabg ditempuhnya.

Ia berpikir saat itu, seandainya kelak, Atiqa putri waled Hasan memintanya pergi, dengan ridho ia akan pergi.

Namun keadaan terbalik, sungguh tidak sesuai harapannya. Kalimat-kalimat Atiqa masih terngiang di benaknya. Atiqa yang memilih pergi dan menyuruhnya tetap di sisi Asyraf karena yang adik madunya tahu, Asyraf tidak mencintainya.

Dalam doa, tidak sekalipun

Hanisya menyebut nama

Atiqa. Agar pintu hati wanita itu segera terbuka dan mulai menerima takdir, tanpa takut kalau memang Hanisya harus pergi karena sudah berani mengambil posisi yang seharusnya ditempati Atiqa.

Itulah Atiqa dengan segala kesederhanaannya, anak satusatunya dalam keluarga berkecukupan. Ia yakin akan bahagia, karena ia mengikut sertakan ridho Allah dalam ruang hidupnya dan menyerahkan semua tumpuan dan harapan pada Tuhannya.

Tidak sekalipun ia menantang takdir Allah. Karena pada nyatanya dalam hubungan ini wanita itu sudah berusaha untuk menghindar dan menolak Asyraf, bukan karena tidak sanggup poligami, namun karena ketakutannya akan hal seperti ini.

Di tolak oleh Adik madunya, secara tidak langsung.

Perjuangan. Ya, itu.

Rasulullah berjuang mengangkat derajat kaum hawa agar tidak diperlakukan semena-mena. Apa salahnya, ia pun berjuang agar mereka bahagia dalam sunnah ini. Kalaupun tidak berhasil, ia akan mundur dengan ikhlas.

Matahari pagi itu tidak bersemangat, awan biru dan kelabu menutup biasnya. meredupkan semarak cahaya kuning.

Berbeda dengan Hanisya, wanita itu terus berseru kali mah Allah dalam hatinya. Bahagia mengantar suaminya menjemput adik madunya.

Satu bandara beda penerbangan. Hiruk pikuk lalu lalang manusia dan keriuhannya di Bandara Sultan Iskandar Muda menjadi saksi atas keberangkatan Asyraf dan ustadz Mansyur ke Negara yang sedang dilanda konflik.

Ketika kaki wanita itu melangkah pada pijakan pertama dalam pesawat yang akan menerbangkannya ke Padang. Sejumput do'a untuknya dan untuk suaminya terucap hingga pesawat mengudara.

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang