10

3.6K 415 38
                                    

Nasi kumakan terasa batu
Air kuminum terasa duri
Bertanya-tanya dalam hatiku
Masih sempatkah untuk kembali

Bait lagu sultan yang pernah wanita itu dengar ketika di warung mie bakso beberapa saat yang lalu melantun samar dari bibir Atiqa.

Hanya empat bait itu yang ia ingat, karena pada dasarnya wanita itu tidak begitu menyukai lagu-lagu romansa. Tapi mendengar lagu itu, ada yang menggelitik hatinya. Seperti mewakili perasaannya saat ini.

Sudah satu minggu keluar dari rumah sakit, Asyraf belum juga kembali. Atiqa mendengar kabar dari umminya, kalau kakak madunya keguguran bersamaan dengannya masuk rumah sakit.

Saat keadaan kedua wanita itu sama, Asyraf hanya berada di sisi Hanisya. Jadi, pikiran Atiqa membenarkan bisikan hatinya. Apapun keadaanya dia tetap menjadi orang nomor dua untuk dikhawatirkan.

Wanita itu tertawa, merenungi nasibnya. Imannya sudah di ujung kuku. Ia tidak ingin mentolerir lagi. Satu keputusan sudah ada di tangannya.

Satu minggu ini ia sudah menyiapkan diri, menunggu lelaki itu sebelum berbicara pada Waled.

Adzan subuh berkumandang, menghentakkan seluruh makhluk yang beroleh hidayah-Nya. Serempak menyatukan langkah menuju mesjid raya Darul Istiqamah.

Begitupun Atiqa, wanita itu menggelar sajadah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Karena masih dalam proses penyembuhan, Atiqa tidak berangkat ke pesantren. Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca.

"Asyraf sudah pulang, sambut dulu."

Atiqa mengangguk ketika ummi memberitahu kedatangan suaminya. Senyum tipis mewakili perasaan dan gundahnya dalam satu waktu.

Melangkah ke dalam, masuk ke kamar dan menutup pintu itu dengan perlahan. Asyraf melihat sosok yang sangat dirindukannya, menatapnya datar. Tidak ada binar di mata istrinya.

Atiqa mendekat, mencium tangan suaminya seperti biasa. Hanya matanya yang enggan melihat wajah itu.

"Kak Hani, apa beliau sudah sembuh?"

"Alhamdulillah, kamu sendiri gimana?" tanya Asyraf menatap mata redup itu.

"Baik." Atiqa tidak ingin melanjutkan kalimatnya, yang diinginkan wanita itu adalah pergi dari harapan Asyraf.

"Apa kamu tidak mau duduk?" Asyraf mengajak wanita itu berbicara. Ia ingin komunikasi keduanya baik, setelah rentetan kejadian mewarnai rumah tangganya.

Atiqa menurut, tidak di sofa melainkan di ranjangnya. Berhadapan dengan jarak dua meter.

Asyraf menangkap ada sesuatu yang akan terjadi. Guratan dan tingkah wanita itu sangat kentara.

"Maaf, kalau kata-kataku nanti tidak sopan. Maaf kalau nada bicaraku tidak mencerminkan akhlakku selama ini. Dan maaf, karena aku tidak sanggup lagi menjalani pernikahan ini"

Asyraf terhenyak, pemikirannya tepat. Wanita itu berbicara dengan sangat lembut, dan menusuk kala kata 'tidak sanggup' itu terucap.

"Jadikan kak Hani, wanita satu-satunya. Dan hargai perasaan beliau. Aku bukan wanita seperti yang ada dalam bayangan Abang, aku wanita biasa, yang tidak sanggup berbagi apapun dengan yang lain." Atiqa berkata jujur, isi hatinya selama Asyraf meninggalkannya ke Malaysia dan ketidak relaannya ketika ia pun sedang melawan rasa sakit, tidak ada Asyraf yang mendampinginya.

Wajah Asyraf ketat, rahangnya terbentuk dalam gurat kemarahan. Mata yang kurang tidur itu pun ikut memerah.

"Apa kamu tahu, apa arti ucapanmu?" Asyraf bangun, tatapannya mengunci netra tak berbinar itu.

Tidak, Atiqa tidak takut. Gundah, ya. Hanya itu yang dirasakannya.

"Aku ingin kita selesai dengan baik-baik." Atiqa menjawab dengan tegas, nada lembut masih terkandung dalam kalimatnya.

Langkah kaki lelaki itu sudah berada di depan Atiqa. Wanita itu sama sekali tidak mendongak untuk bisa menatap Asyraf.

"Atas dasar apa Adek ingin bercerai?" kalimat itu sungguh tidak ingin ditanyakan lelaki itu, tapi memikirkan permintaan Atiqa, mau tak mau ia harus melanjutkan.

"Apa karena cemburu, atau ada hal yang lain?"

"Aku hanya tidak ingin berbagi. katakanlah kalau aku egois." Atiqa menjawab cepat, tidak ingin Asyraf membenarkan pemikirannya. Walaupun, itu alasan yang sebenarnya.

Asyraf tersenyum, lelaki itu berlutut dan menangkup tangan putih dan lembut itu.

"Kalau Abang tidak mau?" tanya Asyraf, bibirnya mengecup tangan di pangkuan istrinya. Hangat nafas lekaki itu menerpa kulit tangan Atiqa.

"Jangan egois-"

"Dan membiarkan Adek sendiri egois?" sela Asyraf cepat membungkam kelanjutan kalimat istrinya. Kepalanya sudah direbahkan dalam hangatnya pangkuan Atiqa.

"Mari egois bersama Abang, bukankah itu adil?" lanjut Asyraf ketika merasakan pergerakan Atiqa yang ingin bangun. Keduanya sudah berdiri saling berhadapan.

"Aku menunggu surat-"

Asyraf menarik istrinya dalam dekapannya. Merasakan detak jantung yang saling bersahutan. Kalimat yang sangat dibenci lelaki itu terpaksa dihentikan dengan cara seperti ini.

Air mata Atiqa merebak, hatinya pilu. Rasa sakitnya tak tergambarkan. Ketika merasakan pelukan hangat suaminya yang setiap malam dirindukan. Dan, ketika bayangan Hanisya yang ada dalam dekapan Asyraf, merah itu kembali menyapa.

Sedikit kasar ia menolak tubuh lelaki itu, tangannya meremat dada yang kembali sakit. Disini sakit, sangat sakit. Dia yang pertama dipilih, kenapa harus merasakan posisi kedua?

"Apa semua laki-laki tamak kepada wanita?" tatapan Atiqa kosong, dengan cairan bening kembali menyapa wajahnya yang sudah memerah.

Pertanyaan yang sangat mengejutkan lelaki itu. Tamak? Apa benar ia se zolim itu pada kedua istrinya?

Apa ia sudah berlaku tidak adil pada keduanya?

Atiqa berbalik, membelakangi tubuh suaminya. "Kembalilah pada kak Hani, kirimkan aku surat yang sudah bertanda tangan."

Tubuh lelaki itu beku, darahnya berhenti mengalir. Tumpuan titik kelemahan diserang bertubi-tubi.

Asyraf, lelaki itu. Lelaki yang sudah jatuh cinta sejak pertama kali memandang Atiqa. Dan kini prahara nyata sedang menggoncang rumah tangganya dengan putri waled Hasan.

"Abang tidak bisa," tegas Asyraf yang sudah berada di belakang tubuh istrinya, terus melangkah ingin mendekat.

"Apa aku harus bersujud dulu, agar Abang mengabulkannya?"

Langkah Asyraf terhenti, kala wanita itu berbalik. Mendekat ke arahnya dan mulai bersujud untuk mencium mata kakinya.

🌻

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang