15

834 117 17
                                    

Suasana cukup ramai ketika mereka tiba di rumah makcik Asyraf. Kesibukan dan suara bising menyatu dalam suasana siang itu.

Pakcik, makcik dan sepupu Asyraf serta beberapa keluarga besarnya menyambut kedatangan Asyraf dan dua bidadarinya.

Hanisya yang sudah kenal dan dekat dengan keluarga suaminya langsung menyapa mereka. Tidak lupa wanita itu menggandeng lengan adik madunya agar ikut bersamanya bersalaman dengan keluarga besar Asyraf.

Tidak ada yang mencemooh ketika identitas Atiqa dibuka oleh Asyraf. Mereka bahagia dan larut dalam perasaan yang mendalam. Mereka mengetahui posisi Atiqa yang harus berada di samping Asyraf tanpa menyalahkan Hanisya.

Isak tangis haru dan sedih ikut menghanyutkan keluarga besar Asyraf. Mereka berulang kali meminta Asyraf bersikap baik dan adil. Walaupun mereka sudah tahu Asyarf memang lelaki baik dan bertanggung jawab.

Kerabat lelaki memaklumi keadaan Asyraf, berbeda dengan kerabat perempuan. Mereka berpikir menggunakan perasaan, dan perasaan kedua istri Asyraf yang mereka tahu lebih perasa.

"Makan yang banyak. Jangan malu-malu," ucap makcik Lia. Hanisya dan Atiqa mengangguk.

Keduanya biasa saja, tidak melanjutkan kecanggungan yang sempat terjadi kemarin. Sementara Asyraf sudah diajak pakciknya ke ruang tamu yang sudah disulap dengan pelaminan.

Hanisya dan Atiqa menolak dengan sopan ketika makcik menyuruh mereka beristirahat. Perjalanan ke sini tidak terlalu jauh, lagipun mereka mau ikut berbaur dengan keluarga yang lain.

Atiqa senang, karena ke manapun Hanisya pergi ia turut serta diajak. Seperti kakak adik, Atiqa teringat pada ustadzah Khalwa, kakaknya. Dulu mereka sering pergi berdua, ia lebih dekat dengan Khalwa dibandingkan Zahira.

Sekarang, Hanisya memperlakukannya seperti adik. Sungguh, ia sangat senang. Apalagi, kerabat Asyraf ramah, tidak mengungkit masalah pernikahan mereka.

"Kenapa Kak Hani mau menerimaku?" tanya Atiqa ketika mereka berada di kamar. Kamar untuk mereka berdua, karena rumah makcik Lia hanya ada empat kamar, dan sudah dihuni saudara yang lain, yang juga datang dari jauh. Dan keduanya pun tidak keberatan.

Pertanyaan kemarin sepertinya akan terulang. Batin Hanisya. Keduanya duduk di ranjang, jilbab keduanya pun sudah dilepas.

"Apa kak Hani tidak cemburu, ketika Abang bersamaku?" Jujur, Hanisya cemburu ketika lelaki yang ia cintai bermesraan dengan wanita lain. 

"Kenapa? Apa kamu cemburu ketika Abang sedang bersamaku?" Hanisya mengembalikan pertanyaan Atiqa dan anggukan kepala Atiqa menjadi jawaban.

"Apa yang kamu cemburukan ketika Abang bersamaku?" Atiqa menatap lurus kakak madunya, nada bicara Hanisya lembut. Sama seperti dirinya.

Hanya...

"Aku hanya merasa tidak suka. Karena, Abang menikahi Kak Hani dengan cinta. Sedangkan aku?"

Tersenyum tipis, Hanisya menyandarkan tubuhnya di dinding. Menikah karena cinta? Benar, mereka melakukannya karena cinta.

"Apa kamu pikir Abang

menikahimu karena terpaksa?"

"Mungkin."

Dengan cepat, kepala Hanisya menoleh melihat wanita yang sedang menatapnya lurus.

"Tidak ada pernikahan karena terpaksa. Sedikit rasa, pasti ada saat Abang menjabat tangan waled." jawaban itu lancar mengalir dari bibir Hanisya.

Sedikit? Mungkin, batin Atiqa. Karena malam itu ia melihat sesuatu dari mata Asyraf.

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang