12

5.5K 396 29
                                    

"Berhenti bicara seperti itu, apa Abang berharap belas kasihku?" katakan munafik, wanita itu akan menerimanya. Ia yang sudah jatuh hati pada sosok suaminya, memilih mengeluarkan kata yang menikam dirinya.

Tangan wanita itu berhenti, dan mulai menjauh dari dahi Asyraf. Dengan posisi yang masih sama, duduk di samping pria yang tengah berbaring itu.

"Kata siapa? Abang berbicara dari hati. Tidak berniat mengundang simpati, Allah lebih tahu isi hati Abang." mata lelaki itu enggan terbuka, bukan tidak ingin melihat lawan bicaranya, melainkan kepala yang berdenyut kuat dan rasa mengantuk yang sedang dilawannya karena tidak ingin mengabaikan keberadaan sang istri.

Atiqa memperhatikan wajah yang tenang itu, matanya terpejam dengan sempurna. Seakan sedang lena dalam mimpinya.

"Kenapa sangat sulit menerima Hanisya?" tanya lelaki itu setelah sepersekian detik mereka saling membisu.

Pertanyaan yang kembali menghujam dada puteri waled Hasan. Nama yang bahkan eggan keluar dari mulutnya lancar diucapkan oleh suaminya.

"Sebenarnya tidak sulit. Hubunganku dengan beliau baik." Atiqa menjaga intonasi kalimatnya agar terdengar biasa saja.

"Baik? Sampai tidak sanggup berbagi? Dari segi apa?" lemah, sebenarnya lelaki itu sangatlah lemah. Kondisinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan pembicaraan yang akan menguar satu titik panas.

Mendengar lelaki itu tidak bisa diam dan menyudutkannya dengan rentetan pertanyaan, membuat emosi wanita tersebut kembali terusik.

"Maaf. Bukankah seharusnya di sini, aku yang berhak menerima atau tidak, kehadiran orang lain? Mengingat fakta, aku adalah yang pertama, terlepas beliau yang pertama Abang nikahi."

Tegas dan tajam, jawaban Atiqa menyerang ego seorang Asyraf.

"Apa bedanya pertama dan kedua bagimu?" tanya Asyraf, lelaki itu bangun dari pembaringannya. Duduk bersandar, menatap wajah Atiqa dari samping.

Atiqa tersenyum, senyum yang tidak dimengerti Asyraf. Setitik sakit, sedikit terlihat olehnya di wajah Atiqa.

"Tidak ada bedanya. Hanya saja, aku merasa tidak adil atas diriku."

"Tidak adil? Karena Abang lebih dulu menikahi Hanisya?" kejar Asyraf, yakin itulah yang ada dipikiran Atiqa.

"Salah satunya itu---"

"Salah satunya? Berarti masih masih banyak hal yang lainnya?" sela Asyraf tidak puas dengan pemikiran istrinya.

Atiqa menunduk, bukan takut melainkan mengatur emosi yang sangat mudah terpancing ketika membahas hubungan yang sangat rumit ini.

"Coba pikirkan," kata Atiqa, kepalanya mulai menoleh ke samping. Melihat wajah Asyraf yang tenang, namun bisa ia lihat emosi yang terkandung dalam mimik wajah lelaki itu.

"Aku mempersiapkan diri walupun tidak menunggu, aku menjaga kehormatanku untuk seseorang yang Allah takdirkan menjadi jodohku. Tapi, ketika semua itu sudah sempurna, apa yang kudapatkan?" lanjut wanita itu dengan segudang tanya dalam benaknya, yang siap ia luahkan.

"Apa kehormatanmu tercabikkan dan terhina setelah menikah denganku? Sanggup kamu melawan takdir, yang sudah tertulis di lauh Mahfuz, bahwa namaku dan namamu disandingkan di sana?" sungguh, Asyraf tidak biasa berbicara kasar, dan ini pun masih dengan intonasi lembut, walau ada nada tegas dari kalimatnya.

"Aku tidak menyalahkan takdir. Aku hanya menyesali keputusan sepihak Abang. Kalau memang sudah ada kak Hani dalam hati dan kehidupan Abang, untuk apalagi datang melamarku?" Atiqa tahu, ia sudah melanggar nasehat dan wasiat kyai haji Faruq tentang perjodohan dirinya dan Asyraf. Tapi karena lelaki itu yang memancing, keluarlah kesakitan yang selama delapan bulan ini pendam sendiri.

Asyraf tertegun, pertanyaan yang sama kedua kalinya. Seberat itukah Atiqa menerima hubungan ini? Serumit itukah jalan pikiran wanita itu?

"Apa yang membuat Abang bisa jatuh cinta pada dua wanita? Kalau dibandingkan dengan logika, kami kaum hawa memiliki sembilan nafsu tak sepadan dengan satu akal, tapi kami tidak bisa membagi cinta kami dengan banyak pria dan berhasil menguasai nafsu kami. Sedangkan kaum Adam, Allah berikan satu nafsu dan bisa dikuasai oleh sembilan akal, kemana hilang akal itu? Tidak bisakah ia menjaga nafsunya yang hanya seujung kuku? Atau, hanya pada orang dengan keimanan tertentu, akal itu bekerja?"

Panas, pasangan yang baru menginjak sembilan bulan pernikahan itu dihadang masalah yang sama. Tidak ridho, satu masalah itu yang sedang diperjuangkan Asyraf, suami Atiqa. Kalau berujung dengan perceraian ia tidak akan meminang, melanjutkan perjodohan yang orang tua mereka lakukan.

"Kamu sedang memvonis Abang?" netra lelaki itu mengunci manik indah pesona yang tidak disadari pemiliknya. "Abang akui, Abang bukan laki-laki taat seperti sahabat rasul. Abang lelaki biasa, yang mencoba merengkuh ridho dan bahagia dengan bidadari Abang." Asyraf meneguk salivanya, mata indah wanita itu berkaca-kaca dengan urat biru menghiasi wajah bak purnama itu.

"Cinta ini anugrah Allah, ada peran Rabb dalam hati seorang hamba." Atiqa tahu kemana perkataan lelaki itu tertuju. "Apa kamu menyalahkan Tuhan-mu, sudah meletakkan rasa pada lelaki ini?"

Mata lelaki itu memperhatikan wajah yang sudah kembali menatap lurus dinding kamar. Sejenak hening, sebelum jawaban wanita itu menusuk rungu-nya.

"Tidak salah, alangkah lebih baik jika rasa itu ada hadir pada lelaki yang masih sendiri." Atiqa memberikan jawaban tepat pada pemilik tanya yang membuat darahnya berdesir menahan emosi.

"Abang yakin kamu mengetahuinya, lelaki yang baik pasti akan mendapatkan wanita yang baik, pun sebaliknya. Jadi, bolehkan kita berharap, untaian kalimat itu untuk kita bertiga?" senyum Asyraf menghiasi bibirnya.

Lafadz restu Rabb berkumandang dalam hati lelaki itu.

"Cinta suami itu bukan hanya dipandang sebesar apa lelaki merengkuh kasih bersama istrinya. Tapi, sebesar apa suami memperjuangkan istrinya untuk bersama, kekal di Jannah-Nya."

🌻

PURNAMA DI UFUK MESRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang