Prolog

888 42 2
                                    

Selamat datang di keluargaku. Keluarga Pradipa.

Sungguh, aku tidak minta kok, nama belakangku ditambah satu kata itu. Tapi ya sudah terlanjur. Sudah ada akta lahirnya pula. Maunya sih pindah di KK (Kartu Keluarga) sahabatku aja, si Radhi, biar diganti jadi Luqman di belakang namaku. Tapi tidak mungkin kan? Kecuali aku buat KK baru dengan orang lain. Alias me-ni-kah. Tapi nggak ah. Menikah tidak ada dalam rencanaku beberapa tahun mendatang.

Aku tidak punya role model dalam menikah. Pasangan siapa yang akan aku tiru bila aku menikah kelak, yang sudah mempunyai pengalaman mengarungi bahtera atau mahligai bernama pernikahan, yang mempunyai anak-anak bahagia karena kasih sayang berlimpah dari orang tuanya? Aku memang mempunyai keluarga yang lengkap. Ada Papa, Mama, dan dua kakak. Tapi, keluargaku telah kehilangan hal yang paling fundamental dalam berkeluarga. Yaitu kasih sayang. Atau hanya aku saja yang tidak merasakannya? Aku takut membuka kotak pandora keluargaku sendiri.

Kembali ke Pradipa.

Kapan ya terakhir kali Papa meneleponku? Atau kalau pertanyaannya dibalik, kapan terakhir kali aku menghubungi Papa, seorang Abhicandra Pradipa? Dasar anak durhaka.

Please, jangan berpikir yang macam-macam dulu. Hubungan kami sebagai ayah dan anak, hmm, baik. Sekedar baik di kartu keluarga dan pandangan tetangga. Tapi secara emosional, apa boleh aku katakan kami tidak baik-baik saja?

Beliau mendukungku secara finansial. Aku bersyukur untuk itu. Terima kasih Papa, karena telah membiayai hidupku. Kebutuhan primer, sekunder, dan tersierku terpenuhi tanpa kekurangan satu apa pun. Tapi bolehkan, aku serakah dengan mengatakan aku masih butuh hal lain? Misalnya, kasih sayang Papa? Dekapan hangat beliau, belaian tangan besarnya di kepalaku? Pujiannya atas rambutku yang hitam, legam, dan lembut? Kapan terakhir kali aku mendapatkan semua itu? TK, SD? Aku sendiri sudah lupa.

Mama? Ooh, I adore her so much. Always. Aku sangat mengagumi Mama. Beliau cantik. Iya, Cantik walaupun usianya sekarang tentu tidak muda lagi. Apalagi kalau aku selami lebih dalam foto-foto jadul Mama. Beuh, lebih cocok jadi model ketimbang banker.

Mama adalah seorang banker yang sukses. Melihatnya berbaju bagus setiap pergi kerja dengan natural, yet strong makeup setiap hari membuatku bercita-cita ingin seperti Mama. Dari kecil aku memupuk keinginanku menjadi seorang banker yang sukses. And now I am a banker too. Yaaay. Beliau adalah role model, panutanku. Tapi sayang, kekagumanku hanya bisa aku utarakan dalam pikiran. Aku hanya bisa mengikuti Mama diam-diam sejak kecil. Atau meniru gayanya dalam kamar. Mama, membenciku. Setidaknya begitu yang aku rasakan sejak aku masih belia, sejak aku sudah bisa berpikir dan merasakan sebuah perasaan kompleks dan mengambil kesimpulan dari tingkah laku dan ucapan-ucapan Mama padaku.

Aku sayang Mama, tapi aku juga membencinya. What a love and hate relationship. Tapi kalau relation atau hubungan, harus ada komunikasi timbal balik, kan? Tapi aku dan Mama? Ah baiklah, Aku ralat. Ini adalah hubungan bagai cinta yang bertepuk sebelah tangan pada mamaku sendiri. Unreqiuted Love to my own mother.

Apa hidupku sudah cukup mengesankan? Atau, mengenaskan?

Sekarang baru aku rasakan, untuk menghirup oksigen saja demi bertahan hidup ternyata sangat susah. Padahal gas tak kasat mata itu bebas dan gratis untuk dihirup di mana pun. Kaya dan sejahtera ternyata tidak menjamin kehidupanku bahagia. Apa aku kurang bersyukur dengan keluarga yang aku punya?

But hey! Masih ada pelangi setelah badai. Masih ada secercah lilin dalam kegelapan. Masih ada harapan dalam putus asa yang hebat. Oke. Sudah cukup dengan segala perumpamaan itu. Intinya, aku dulu punya bibi yang setia bekerja pada keluarga kami yang mencurahkan kasih sayangnya padaku. Menyuapiku ketika sarapan, makan siang, dan makan malam waktu aku masih kecil. Beliau juga sering membantuku memilihkan pakaian sebelum aku pergi hang out bersama teman-teman sekolah dulu.

MAHESWARI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang