Aku memeluk tubuhku erat-erat, melindungi diri dari ketakutan yang menyerang, tapi sisa-sisa sentuhan tadi terus menggerayangi tubuhku, jiwaku, pikiranku. Tanganku mengusap kasar rambut dan lengan yang dipegang tangan bejat tadi demi menghapus sensasi jijik yang makin menggerogoti akal sehatku. Kakiku bergerak tanpa kusuruh. Serangan panik itu datang lagi. Aku butuh obat penenang, tapi obat itu tinggal di kamar hotel. Tuhan, bagaimana ini?
Mataku mulai tidak fokus. Entah karena air mata yang deras mengalir atau karena penglihatanku bermasalah. Aku tak tahu. Telingaku menuli. Bahkan aku tidak merasakan rambatan gelombang suaraku sendiri di gendang telinga. Aku tak tahu lagi sedang berada di mana. Yang aku pikirkan hanya ingin mandi dan minum obat penenang secepatnya. Aku hanya ingin tidur melupakan hari ini.
Dalam sekejap aku ditarik cepat oleh sebuah kekuatan, membuatku berada dalam kungkungan hangat yang menahanku bergerak. Aku merasa punggungku diusap lembut. Tahu-tahu kepalaku sudah bersandar, dan aku semakin tenggelam dalam kungkungan nyaman dan menghangatkan, seakan melindungiku dari apa pun itu.
Sayup aku dengar ada suara yang menyuruhku mengucapkan kata astagfirullah. Makin lama kata itu makin sering terdengar dan makin keras.
"Ri. Ari, ngucap Ri. Istigfar. Kamu pasti bisa. Hm?" kata suara itu. Rasanya aku mengenal suara menyenangkan itu. Terdengar ... familiar.
"Ucapkan Astagfirullah Ri. Ayo. Aku percaya kamu bisa. Ayo bilang Astagfirullah," ucapnya lagi dengan nada makin khawatir. Makin lama aku jadi ingin mengucapkan kata itu. Astagfirullah, Astagfirullah. Dan aku ulang berkali-kali dalam hati.
Sebuah dorongan membuatku ingin mengucapkannya dengan lantang.
"Astagfirullah." Akhirnya aku mendengar suaraku sendiri melafalkan istigfar.
"That's my girl. Baca terus ya, Ri," kata suara menenangkan itu.
Kepalaku dibelai lembut. Terkadang ada tepukan-tepukan pelan punggungku. Kini kepalaku disandarkan pada suatu bidang kokoh nan hangat.
"Astagfirullah." Kuulang hingga tak terhitung kali sampai tubuhku tidak gemetar lagi. Aku jauh lebih tenang. Jantungku masih berdebar walau tak sekencang dan semenyakitkan tadi. Tangan dan kakiku juga mulai rileks.
"Udah mendingan, Ri?"
Radhi?
Ini suara Radhi. Aku menarik diriku dan melihat wajah yang bicara barusan.
"Radhi?" tanyaku menatap tak percaya. Wajahnya kusut, alisnya bertaut seperti sedang mencemaskan sesuatu.
"Iya. Ini aku. Radhi, your favorite chef, ever, " jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum kali ini terasa berbeda. Tidak seperti senyum sejuta dolarnya itu. Dia memaksakannya.
Radhi membelai kepalaku beberapa kali, dan mengusap pipiku yang ... basah? Apakah aku menangis?
"Kamu akhirnya kembali, Ri. Alhamdulillah." Dan Radhi menarikku ke dadanya. Ia merapatkan diriku dengan dirinya erat hingga tak ada jarak di antara kami, seakan ini adalah pelukan perpisahan. Aku bisa merasakan pipinya menempel di puncak kepalaku. Radhi memelukku? Lagi? Tapi untuk alasan apalagi sekarang?
"Aku kan di sini dari tadi, Rad. Emang aku pergi ke mana?" tanyaku masih di dadanya.
"Kamu seperti pergi ke dunia lain. Raga kamu aja yang di sini, tapi pikiranmu enggak. But I'm glad you're back, Maheswari." Suara kelegaan jelas terdengar olehku.
"Oh, ya?" Aku kembali menarik diri dari Radhi sembari otakku bekerja keras memutar ulang ingatan beberapa menit yang lalu. "Memangnya apa yang terjad..."
Sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, berbagai gambar akan memori beberapa saat lalu muncul satu per satu. Argh, aku merasa kotor! Perasaan ingin mandi dan minum obat kembali menerjangku, tapi tidak sekuat tadi. Sungguh, aku sudah kehilangan harga diriku di depan Radhi. Aku langsung menyembunyikan mukaku dengan kedua telapak tangan. Lagi-lagi Radhi melihatku dalam keadaan berada di titik nol.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
روحانياتMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...