13. Pelangi Sebelum BadaiAku tidak berlama-lama di hotel. Hanya menyerahkan baju kerjaku untuk di laundry, dan memakai baju yang baru di beli tadi untuk aku pakai malam ini. Aku pergi ke rumah sakit lagi karena ingin memanfaatkan waktu yang singkat ini bersama Papa.
Aku tahu, begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar alam benakku seperti carousel setelah kami bicara dalam cucuran air mata. Bukannya pencerahan, hanya kebingungan yang bertambah. Walaupun demikian, aku tetap ingin bertemu Papa lagi, karena aku masih merindukan Papa.
Semua uneg-uneg sudah aku tumpahkan kepada Papa yang sedang sakit. Demi Tuhan. Aku merecoki Papa yang tidak dalam kondisi fit. Hasilnya? Tidak ada jawaban yang memuaskan yang aku dapatkan dari Papa. Tuhan, aku hanya menambah daftar penyebab durhaka pada orang tua, dan setelah itu aku menyesal melakukannya. Bodoh kamu, Maheswari. Papa sedang sakit. Padahal semua kegundahanmu bisa menunggu sampai Papa sembuh, kan? Malah Papa berubah misterius ketika beliau mengatakan, Ari, nanti ya. Nanti. Nanti? Apa itu artinya Papa mempunyai sebuah cerita untukku?
Aku harap cerita Papa mempunyai ending seperti cerita-cerita Disney, happily ever after.
Jarak hotel dan rumah sakit Papa hanya sejauh 10 menit jalan kaki. Kini, aku kembali menginjakkan kaki ke lobi rumah sakit tempat aku tergeletak tak berdaya alias pingsan. Ah, aku pikir aku sudah mulai sembuh, tapi setelah berpikir berulang kali ketika aku yang tiba-tiba syok dan pingsan, sepertinya perjalananku masih panjang untuk menjadi normal seperti sedia kala.
Namun, dari semua kejadian yang menimpaku, apakah aku sudah boleh bersyukur? Dengan kembalinya ingatanku, dengan terguncangnya jiwaku, aku mengenal Tuhanku sedikit demi sedikit. Betapa ironis. Begitulah jalan Tuhan untukku. Aku beruntung ada Radhi yang gigih mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat bersandar yang Maha Hebat dan Maha Mendengar, selain Radhi, psikolog, psikiater, dan obat penenang. Dia adalah Allah.
Radhi mulai menyuruhku mendekati Tuhanku dan Tuhan Radhi. Aku salat, puasa, dan melakukan ibadah-ibadah kecil lainnya dengan konsisten. Awalnya memang sulit. Tapi harus dipaksa-begitu kata Radhi untuk memulai sesuatu. Awalnya memang terpaksa, namun lama-kelamaan aku menyukai ibadah-ibadah kecilku kepada Allah, Tuhanku. Pada suatu titik, aku mulai merasakan nikmatnya salat dan nikmatnya berzikir. Telat banget. Aku tahu. Ya, daripada tidak sama sekali. Dan aku bersyukur akan hal itu.
Terus terang, dulu pengetahuan agamaku pas-pasan. Hanya didapat secara formal dari sekolah. Sedikit dari Bibi, sedikit dari Mas-Masku, dan sedikit dari Radhi dan keluarganya. Serba sedikit dan serba tanggung, sehingga efeknya tidak terasa sampai ke kalbuku. Justru dengan adanya masa laluku yang muram dan nista ini, aku semakin yakin bahwa Allah itu benar-benar ada dan kehadirannya sangat nyata.
Sekarang aku di kamar Papa sedang membereskan sisa bungkus makanan dan botol minuman kosong ke dalam plastik, membuat kamar Papa kembali bersih dari remah makanan.
Mas Dika, Mas Wira, dan aku baru saja selesai makan malam bersama Papa di ruangan beliau. Sebenarnya tidak boleh terlalu banyak pengunjung di ruangan Papa. Tapi kadang, peraturan dibuat untuk dilanggar, bukan? Maka inilah yang anak-anak Abhicandra Pradipa lakukan. Lagian, momen seperti ini jarang-jarang terjadi, di mana aku dan keluarga yang menyayangiku berkumpul bersama untuk makan malam dan saling tertawa tanpa beban. Sayang, tidak ada Mama.
"Udah ada pacarnya, Dek?"
Iih, pertanyaan Mas Dika nggak keren banget. Kami berkumpul di sekeliling brankar Papa, ngobrol ringan, membicarakan apa saja yang telah kami, para-anak-anak lewati beberapa bulan terakhir. Catch up everything what's being left in one short single night. Seharusnya aku membahas ketidakadilan yang terjadi di sepanjang hidupku sebagai seorang Pradipa, bukannya membahas aku sudah punya pacar atau belum. Kesal, tapi suka cita di saat yang sama. Kok bisa, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...