‘I care about you, Mahes. Saya nggak suka lihat kamu nangis.’
Itu adalah puncak keanehan atasanku. Dia bukan lagi kanebo kering. Sekarang dia sudah berubah jadi kanebo lembek. He is now a flexible and expressive boss. Memangnya apa hubungan nangisnya aku dengan ketidaksukaannya melihat aku nangis? Apa dia nggak suka lihat perempuan menangis? Aku juga bukannya sembarang menangis. Aku hanya kesal sama si brengsek tidak tahu diri itu sampai-sampai bikin emosi. Air mataku keluar karena marah, bukan karena sedih.
Eh, tapi kok dia tahu aku nangis?
Kemudian kata-kata terakhir Pak Will bikin aku makin mengerutkan kening dalam.
“Kamu wanita tangguh, tapi saya juga nggak suka kamu pura-pura tegar. You can share anything with me, Mahes, ngurangin beban. Saya bisa jadi tempat untuk mendengarkan keluhan kamu, bila kamu mau.”
“Hes, ngelamun.”
Kembali ke dunia nyata. Percakapan Pak William tadi terasa tidak nyata bagiku.
“Nggak, kok. Kenapa?” Cantika menatapku aneh.
“Gue nanya tadi, cara nge-book resto Amaranggana. Lo cuma natap smoothies lo sambil aduk-aduk pake sedotan. Five minute straight.”
“Oh.” Aku nyengir tanda bersalah lalu mengeluarkan ponsel dan mengirim nomor admin Amaranggana untuk mereservasi tempat. “Udah gue kirim nomornya.”
“Lo nggak bisa nolongin gue, gitu, sama empunya resto?” Cantika mesam-mesem menaik-naikkan alisnya. Aku tahu arti senyum itu.
“Lo mau makan atau mau ketemu Radhi?” godaku.
“Keduanyalah. Masa kesempatan emas ketemu chef ganteng, tamvan, rupawan, hartawan, disia-siain begitu aja?” Aku tertawa ngakak. Ada-ada aja nih anak.
“Gue bakal kasih discalimer dulu ke elo supaya harapan lo nggak melambung ketinggian. Biar harapan lo nyungsep nabrak tembok, dan biar lo sadar sejak awal karena bayangan lo tentang Radhi itu nggak seindah kenyataan.”
“Lebay.”
“Beneran.”
“Iye-iye. Apa disclaimer-nya?”
“Pertama, lo harus sabar menanti. Soalnya antriannya biasanya panjang. Kedua, lo nggak bakal ketemu Radhi. Wong kerjanya di dapur. Sekali-sekaliii banget dia turun langsung menghidangkan makanan. Dan yang ketiga, dia nggak selalu ada di Amaranggana. Kadang syuting di studio TV. So...”
“Istigi! Seriusan lo?”
Aku mengangguk. Ponselku berbunyi dan meminta izin Cantika untuk mengangkat telepon. Aku nggak mau membuat seseorang yang meneleponku menunggu dan khawatir.
“Assalamu’alaikum, Mas Wira.”
“Wa’alaikumsalam. Di mana, Dek?”
“Lagi makan sama temen di restoran, Mas.”
“Sama siapa?” Ini nih, Mas Wira kembali dalam mode terlalu perhatian.
“Cantika, teman sekantor.”
“Ooh. Kirain sama Radhi.” Aku memutar bola mata.
“Jam segini Radhi pasti di Amaranggana, Mas. Mana ada sama aku.”
“Dek, kamu sehat, kan? Lagi nggak sakit, kan?”
“Alhamdulillah sehat walafiyat.”
“Habis pulang dari Bandung kamu nggak sakit atau apa, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
DuchoweMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...