10. Papa

159 20 2
                                    

Papa

Dengan rangkulan tangan Mas Wira di bahu dan genggaman hangat tangan Mas Dika, hal buruk apa yang akan terjadi, kan? Atau apa aku harus mengajak Radhi masuk dan menemaniku ke dalam? Aku terus melihat ke arah Radhi. Dia malah tersenyum dan dengan matanya seakan berkata, semua akan baik-baik saja.

Aku semakin menjauhi sahabatku.

Kami sampai di depan kamar Papa. Mas Wira membuka pintu untuk kami. Pemandangan pertama yang disuguhkan padaku adalah Papa terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus tertancap di lengan kanannya, oksigen di pasang di hidung Papa.

Satu hal sangat meremas hatiku adalah Papa jauh lebih kurus dibanding sebelas bulan yang lalu, saat terakhir kali aku melihatnya. Pipi Papa cekung, serta tidak ada lagi perut yang menonjol. Lengan Papa tampak sangat kekurangan masa otot di sana.

Lalu seorang perempuan anggun membelakangiku duduk di sebelah kiri Papa, memegang tangan Papa lembut. Rambutnya disanggul minimalis dan masih berwarna hitam legam.

Mama, perempuan yang masih aku sayangi dan aku kagumi hingga detik ini, walaupun aku tidak pernah merasakan kasih sayang beliau.

Ma, sosok yang membuatku berpikir aku bukan anakmu atau pun anak Papa. Aku seperti tidak mempunyai bagian di keluarga ini. Selama ini aku memohon kasih sayang seorang ibu padamu, tapi yang aku dapatkan hanya pandangan jijik dan sorot mata tidak suka.

Ah, sudahlah.

Ketika aku mendekat, Mama menoleh ke belakang dan aku langsung mendapatkan sambutan selamat datang yang hangat.

"Bagus sekali Maheswari. Orang tua sakit baru kamu datang. Ke mana aja kamu selama ini? Menghilang? Kabur? Lari dari masalah?" ucap Mama yang tidak segan-segan mencercaku di depan Papa, Mas Wira, dan Mas Dika.

Terang-terangan memperlihatkan ketidaksukanya padaku, ya? Apa beliau tersinggung ketika untuk pertama kalinya dalam 26 tahun hidupku, aku melawannya waktu itu dan memutuskan untuk keluar dari rumah sebelas bulan yang lalu?

"Ma!" Mas Wira berusaha menghentikan Mama, dia berjalan cepat menuju Mama dan memberikan rangkulan menenangkan padanya. Aku bersyukur Mas Dika masih menggenggam tanganku, tidak meninggalkan diriku yang mulai merapuh.

"Maaf, Ma." Jawabku dengan suara dan ekspresi sedatar mungkin. Tapi aku malah meremas tangan Mas Dika.

"Ma, please. Jangan di sini. Papa sedang sakit, Ma. Setidaknya biarkan Ari bicara dengan Papa, bertemu Papa. Ari sudah mau pulang saja, aku sudah sangat bersyukur," sambung Mas Dika.

"Mas!" Aku ingin protes tapi Mas Dika malah menyuruhku diam lewat tatapannya. Aku tidak ingin dibela di depan Mama.

"Bukan begitu Dika. Mama hanya heran, anak macam apa yang tidak pernah pulang ke rumahnya hampir setahun? Giliran orang tuanya masuk rumah sakit, baru dia pulang. Memang ya, kalau anak yang nggak terdidik dan nggak punya sopan santun sama orang tua kayak dia, suka bikin darah tinggi. Kayak bukan bagian Pradipa saja."

"MA!" Kedua masku protes bersamaan.

Ha!

Kenyataan bahwa Mama yang menghinaku dengan tatapan merendahkan di depan semua anggota keluarga dengan wajah dan ekspresi mencebik, membuat hatiku seperti digores sembilu. Sepertinya aku benar-benar tidak dianggap anak oleh Mama. Apa sih yang aku harapkan dengan kepulanganku? Mungkin aku berharap terlalu banyak.

"Ari nggak terdidik dan nggak punya sopan santun sama orang tua karena nggak ada orang tua yang ngajarin Ari Ma, sampai sekarang!" Suaraku bergetar. Aku berusaha menahan emosi yang kini sampai ke ubun-ubun. Aku ingin menangis sejadi-jadinya tapi aku tahan, tidak di depan keluargaku, apalagi di depan Mama. Aku melepas paksa tanganku dari genggaman Mas Dika dan hendak keluar dari ruangan ketika Mas Dika segera menangkap pergelangan tanganku, menahanku di sana. Wajah Mas Dika memelas, memohon agar aku tetap tinggal.

MAHESWARI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang