Pak William memberi izin sakit 3 hari. Aku pikir beliau sangat ketat memberi izin karyawannya. Masalahnya tidak ada surat keterangan sakit dari dokter yang menyatakan aku sakit apa pun. Izin pun hanya lewat telepon. Tapi syukurlah. Aku tidak perlu memusingkan target selama 3 hari ke depan.
Mas Wira yang lebih sering menelepon terpaksa aku abaikan. Aku takut. Kalau aku mendengar suara menenangkan dan dalam khas Mas Wira, mungkin tangisanku tak akan terbendung dan Mas Wira akan mengejar sampai aku membuka mulut dan memaksaku membeberkan aib memalukan itu.
Hanya pesan demi pesan yang aku kirim, plus alibi aku sibuk di kantor untuk kedua Masku yang rajin mengabsenku setiap waktu.
Aku takut membayangkan, entah apa yang akan Masku lakukan nanti kalau aku katakan siapa yang pernah menjamah tubuh adiknya, bahkan sebelum aku masuk SD. Mas Wira pasti akan memburu orang itu sampai ke ujung dunia.
Aku tidak pernah merasakan malam yang begitu menyiksa seperti saat ini seumur hidupku. Rasa sakitnya melebihi saat Mama membenciku terang-terangan, atau Papa yang lebih memilih bekerja lebih sibuk dan memperlihatkan kasih sayangnya berlebihan pada Mas Wira dan Mas Dika.
Baru hari kedua sejak memori sial itu aku ingat. Dan sialnya, aku tidak henti-hentinya mandi berkali-kali hari ini. Sejak tadi pagi hingga malam ini adalah mandi ketujuhku. Aku...merasa kotor. Ingatan yang muncul tanpa aba-aba itu terasa sejernih kristal. Aku...masih bisa merasakan sentuhan tangannya di titik-titik tertentu tubuhku. Merinding. Jijik. Kotor. Aku... Aku... Hueeek.
Lagi-lagi aku berlari sekencang mungkin dan berakhir di kamar mandi, memuntahkan air sambil menangis. Hanya air mineral yang masuk ke perutku dua hari ini. Aku tak sanggup memasukkan makanan apa pun. Kini badanku merasakan efeknya. Lemah. Aku hampir saja merangkak kembali ke kamar kalau tidak mendengar suara ponsel berteriak di atas kasur. Aku paksakan juga tubuh ini berdiri dan berjalan terseok-seok.
"Radhi? Tumben nelepon semalam ini," gumamku. Mendehem berkali-kali demi membersihkan tenggorokan, aku putuskan menerima telepon si Celebrity Chef Radhitya.
"Halo Rad. Kenapa?"
"Assalamu'alaikum." Duh lupa terus ngucapin salam.
"Eh. Wa'alaikumsalam. Napa Rad?"
"Lemes banget? Lo sakit?" Oh Sh*t. Aku lupa Radhi sangat sensitif dengan setiap perubahanku.
"Belum makan aja ini," kilahku cepat.
"Lo di apart, kan?"
"Iya."
"Ya udah. Buka pintunya. Gue mau ambil Siti." Eh? Dia di depan pintu?
"Lo di depan? Kenapa nggak bunyiin bel? Pake nelepon segala." Terdengar desahan napas lelah. Mungkin Radhi baru pulang.
"Gue udah mencet berkali-kali Ari. Gue kira lo udah tidur."
"Owh. Tu-Tunggu sebentar." Sambungan aku matikan sepihak.
Ketika berjalan menuju pintu, mataku tak sengaja menangkap bayangan seorang perempuan pada cermin lebar dan tinggi di dinding. Astaga. Siapa perempuan itu? Kenapa dia terlihat sangat... mengenaskan? Rambut kusut, mata panda, cekung dan tak bergairah. Pipinya hilang. Bibirnya pucat. Perempuan itu, aku?
Segera saja aku rapikan semua yang perlu dirapikan semampuku. Bedak, lipbalm, sudah aku apply. Tapi sekeras apapun usahaku, tidak bisa menyembunyikan gurat-gurat nelangsa di wajahku. Oh no! Apa kata Radhi nanti?
Di depan pintu, aku intip Radhi dari peep hole. Dia memakai topi baseball biru dongker pemberianku tahun lalu, sedang menunduk, mengutak-atik ponselnya. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa Radhi bisa masuk ke lantai hunianku. Padahal, dia tidak tinggal di gedung apartemen yang sama denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualeMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...