Tolong...
Mama, Papa, tolong Ari. Mahes dikejar sama Mas... Uuugh. Kenapa lidahku kaku menyebut nama orang itu?
Mas Wira, kenapa nggak denger aku?
Mas Dika, kenapa pergi?
Radhi...tolongin gue. Gue nggak bisa napas.
Rad...
Bibi...
Siti...
"AAAAAK!!" Napasku memburu. Dadaku naik turun, menghela napas dengan tempo cepat seperti habis lari maraton. Mataku bergerak liar tak tentu arah, memastikan aku sedang di mana.
"Kamar," jawabku sendiri, lirih bagai bisikan. Seiring dengan kesadaranku yang makin kembali padaku, detak jantung juga makin melambat. Karena aku tahu, tidak ada bahaya nyata disekelilingku. Aku aman.
"Panas." Selimut aku hentak keras ke pinggir kasur, mengekspos badanku yang penuh keringat. Padahal ruanganku ber-AC dengan suhu terendah.
"Bahkan di mimpi pun Siti nggak mau nolong aku," dumelku setengah sadar.
"Jam berapa sih?" Ponselku mana? Tanganku sibuk mencari di bawah bantal. Bagus. Mati. Tidak ada jam di kamar. Di luar jendela sepertinya sudah tidak ada matahari. OK. Antara malam atau subuh.
Aku mengalami disorientasi waktu beberapa hari ini. Terbangun dari tidur tanpa tahu waktu. Kadang jam 8 pagi. Kadang sudah siang, kadang ketika tidak ada lagi matahari. Aku jadi bingung sendiri, sudah malam, atau sudah berganti hari menjadi subuh. Satu-satunya petunjuk waktu ya, tanda AM (pagi) atau PM (malam) di jam HP. Dan aku selalu terbangun dalam keadaan seperti dikejar setan, ngos-ngosan, berkeringat, dan bikin letih sebadan-badan.
Dug...Dug...Dug...
"Eh, suara apa tuh?" Seperti bunyi gedoran pintu. Tapi kenapa semakin kencang?
Menarik napas dalam-dalam dan menghebuskannya pelan, demi mengumpulkan nyawa yang masih di awang-awang. Segera aku keluar kamar dan menemukan suara gedebuk semakin keras dan suara teredam memanggil-manggil namaku.
Sebelum sampai di depan pintu, pintuku terbuka sendiri.
"Apa-apaan..."
"Ari! Lo nggak apa-apa?!" Aku tak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu Radhi memelukku erat. Aku tidak bisa mendeskripsikan kejadian ini. Mungkin aku masih menderita disorientasi waktu dan kesadaranku belum terkumpul sempurna. Aku tak tahu.
"Sejak pagi tadi gue nelpon elo, Ri. Gue kan udah bilang bakal ngecek elo tiap pagi. Tapi lo nggak mau angkat telepon gue. Gue nggak konsen di Amaranggana gara-gara lo."
"Tapi kan, gue di kamar seharian."
"Seharian?!" Lepas sudah kungkungan lengan Radhi. Sejujurnya, aku merasa kehilangan. Nyaman ternyata. Aku bisa tidur nyenyak dengan di peluk seperti tadi. Mungkin tanpa mimpi buruk. Kalau Radhi suamiku, aku nggak akan melepaskan pelukannya. Tapi kan dia Radhi. Sahabatku. Bukan suamiku.
"Emang jam berapa sekarang?" tanyaku ling-lung.
"Tu-juh ma-lam."
"Pantes gue laper." Aku menyeringai bersalah.
"Mas, berarti sudah beres ya. Mbak Mahes sepertinya tidak apa-apa." Aku menoleh cepat. Aku baru ngeh kalau Radhi masuk ke apartemenku tanpa kartu akses. Ternyata Radhi datang bersama sekuriti gedungku.
"Makasih ya, Pak. Maaf ngerepotin malam-malam."
"Sami-sami, Mas. Nggak apa-apa. Wajar kok Mas-nya cemas gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpirituellesMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...