Bekerja di sebuah lembaga keuangan milik pemerintah punya tantangan tersendiri untukku. Apalagi bekerja di tengah perbedaan jumlah gender yang jomplang di divisiku membuatku awalnya gentar, tapi lama-kelamaan aku bisa beradaptasi. Aku satu-satunya wanita di bagian analis kredit yang didominasi oleh karyawan pria. Tapi kan, manusia makhluk yang sangat ahli dalam menyesuaikan diri. Di mana pun dia berada.Aku tidak lagi berusaha meniru Mama. Belakangan aku sadar, kami dua individu yang berbeda sama sekali. Aku dengan pemikiranku, dan Mama pasti dengan pemikirannya. Setelah beberapa tahun diterima bekerja pun, aku tidak pernah mendapatkan selamat, wejangan, atau apa pun itu dari Mama. Jadi kuputuskan untuk berjalan sesuai dengan apa yang aku mau. Mama, tidak lagi masuk dalam rencanaku. Padahal saat awal mencari kerja, aku mempunyai keinginan untuk menjadikan Mama sebagai referensi, tempat bertukar pikiran, meminta saran Mama di mana aku harus bekerja, mungkin ditambah sedikit girls time, berdua saja. Tapi apa yang aku harapkan, sih? Semua itu hanya mimpi di siang bolong. Mendengarkan keluh kesahku saja tidak mau. Apalagi kencan berdua, shopping, ke salon bareng. Bullsh*t. Pssst, kalau Radhi tahu aku sering mengumpat begini, aku pasti akan dimarahi.
Pekerjaanku seputar menganalisa kemampuan calon debitur dalam menjalankan usahanya sehingga mampu membayar pinjaman yang lembagaku pinjamkan. Kasarnya, aku yang memastikan bisa tidak si peminjam membayar pinjaman setiap bulan? Punya kemampuankah si calon debitur mengelola usahanya? Punya utangkah dia di lembaga keuangan lain? Semua harus aku kuasai dan aku analisa. Datang ke tempat usaha mereka, dan berbincang-bincang untuk melihat karakter mereka. Bisa dibilang, kerjaanku lebih banyak di lapangan daripada di kantor. Di kantor, aku juga sering lembur. Betapa berdedikasinya aku pada perusahaan. In return, ada beberapa digit angka yang masuk ke rekeningku, alias gaji dan bonus. Aku nggak ikhlas-ikhlas amat kok dalam bekerja. Hanya tuntutan profesional. Dan aku bekerja untuk membuktikan pada dunia, pada Mama, bahwa aku juga bisa sukses seperti Mama, tanpa bantuan siapa pun.
***
Aku memesan makan malam di Restoran Radhi yang hanya berjarak 10 menit dari kantorku menggunakan sepeda motor. Seringnya aku meminta Radhi mengirim bekal makan malam bila sedang lembur seperti malam ini. Apa pun request-ku, dia kan memasaknya untukku. Mau masakan Indonesia? Bisa. Masakan luar negeri? Apalagi. Dan kalian tahu apa? Pesananku akan sampai dalam 20 menit melalui seorang kurir khusus. He is the best chef I ever met. Tapi untuk malam ini, bukan Radhi yang memasak untukku. Tapi sous chef-nya Radhi di dapur, alias orang nomor dua di dapur restoran Radhi.
Bila aku pulang terlalu malam seperti hari ini, aku sering dapat bombardir pesan atau telepon dari Mas Wira atau pun Mas Dika. Tapi walaupun mereka terkesan cerewet, aku senang kok mendapat perhatian seperti itu. Menggantikan rasa kosong ketika seharusnya Mama atau Papa lah yang mengkhawatirkan aku, si anak gadis yang belum pulang juga.
Ini nih, bukti konkretnya. Mas Dika ngerecokin aku dengan spam pesan di WhatsApp.
Ari, kamu masih di kantor?
Cepetan pulang.
Mas lihat di status kamu masih di kantor.
Makan malam udah?
Kantor nggak peduli kamu sakit, Dek
Dek, balas.
Dek.
Ari.
Maheswariiiiii.
Dan pesannya akan terus bertambah dalam kecepatan cahaya kalau aku tidak menanggapinya cepat-cepat. Astaga Masku yang satu ini!
Maka dari itu, aku terpaksa membalasnya. ASAP. Alias as soon as posible.
Aku masih di kantor. Setengah jam lagi pulang. Tadi udah makan, pesen di resto Radhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...