Ketika aku jelaskan ke Radhi kenapa aku belum pulang, Radhi ngomel 15 menit. Ya Allah, 15 menit di telepon bikin kuping panas, tahu—aku diomelin ketika sudah sampai di apartemen, ya, bukan di depan kantor polisi. Jadi aku disuruh pulang dulu karena tahu omelannya bakalan panjang.
Nah, di antara omelan, terselip kesan marah, kecewa, dan khawatir. Itu anak lagaknya seperti orang tuaku. Papa dan Mama saja nggak pernah memarahiku. Ya iyalah. Apa yang mau mereka marahi? Sampai aku bolos sekolah, yang memarahi aku, Mas Wira, bukan Papa dan Mama. Aku yakin orang tuaku tidak pernah tahu aku pernah jadi korban perundungan gara-gara pernah berhenti jajanin teman-teman SMP-ku dulu.
Kembali ke Radhi. Karena dia menuntut alasan mengapa aku telat pulang, maka aku tuturkan kisah pengejaran si cabu ... sori, maksudku si Leo tukang grepe-grepe anak orang sampai aku mampir ke kantor polisi. Eeh, Radhi marah besar ketika mendengar kata kantor polisi. Bukan sekedar ngomel lagi.
Begini kira-kira marahnya Radhi malam itu.
“Astagfirullah. Maheswari! Kamu udah gila? Ngejar penjahat lho, itu. Bahaya. Kalau kamu kenapa-kenapa, siapa yang bakal sedih? Mas Wira. Mas Dika. Orang tua kamu, Ri. Astaga. Kamu bikin aku jantungan. Cukup sekali aja kamu nggak bisa dihubungi karena aku kira kamu ngelakuin yang aneh-aneh di apartemen kamu. Aku tahu kamu cinta keadilan, tapi nggak gitu juga caranya. Serahin ke yang berwajib, Ri. Kamu perempuan, demi Allah. Jaga diri baik-baik. Jangan sampai ... bla ... bla ... bla ....”
Dan percayalah, omelan Radhi masih 2 kali lipat dari itu. Kupingku sampai berdenging karena saking lamanya dia bicara. Persis ibu-ibu yang mengomeli anaknya, kan?
Saat itu aku hanya bisa mendengar dengan patuh dan lebih banyak menjawab ya, ya, dan ya. Kalau aku bantah, omelannya akan lebih parah.
Tapi yang bikin aneh tapi ajaib adalah, setelah hari yang panjang dan melelahkan itu, aku tidur nyenyak untuk pertama kali. Aku puas karena telah membantu Aluna menangkap si penjahat kelamin. Bangun pagi, badanku segar dan aku mengucap syukur berkali-kali pada Allah. Tuhanku.
***
Mas Dika memberikan kejutan dengan menungguku pulang di lobi kantor. Melihatnya melambaikan tangan girang dengan senyum lebar membuatku berlari kecil menyongsong Mas jangkung ini.
“Mas Dika,” sapaku. Astaga. Kalau saja aku tidak sadar kami masih di area kantor, aku pasti sudah memeluknya. Aku menariknya duduk di sofa tamu.
“Banker memang beda, ya, gayanya. Kamu keren. Kayak Mama dulu.” Aku tersipu ketika disamakan sama Mama. Oh, Mama, Ari rindu.
Namun, aku nggak mau berlama-lama dengan topik Mama dan turunannya. Membuat melow saja. Maka aku alihkan perasaanku dengan pertanyaan ini.
“Mas kapan datang?”
“Sepuluh menit yang lalu.”
“Dari Bandung banget?”
Mas Dika mengangguk. “Ada urusan juga sama rekanan Mas di sini. Dan Mas kangen si Anak Hilang ini." Masku merangkulku hangat.
Apa Lingga menghubungi Mas Dika? Apa mereka janjian untuk bertemu di Jakarta? Ah, aku nggak mau memikirkannya.
“Mahes.”
Aku buru-buru berdiri menyambut Pak Will si Kanebo Lembek. “Pak.”
“Nggak pulang?” Tuh kan, pake nanya-nanya. This is really not a William things to do.
“Ini mau pulang, Pak.” Aku yakin Pak Will menyengaja melirik pada Masku. Mas Dika sendiri enggak menutupi keingintahuannya pada pria oriental di sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
روحانياتMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...