Pagi-pagi, ponselku sudah berteriak di nakas. Siapa sih yang nelepon? Baru jam setengah enam pagi! Makeup-ku bahkan baru setengah jadi."Radhitya Haris Luqman," sapaku tanpa basa-basi setelah merapatkan ponsel ke daun telinga.
"Assalamu'alaikum. Biasain, Ari. Ucapin salam berarti mendoakan orang lain." Di ceramahin pagi-pagi. Nggak apa-apa sih. Aku butuh didoakan juga kayaknya.
"Wa'alaikusalam. Ya maap." Ngaku salah deh, Rad. "Ada apa?"
"Gue di bawah."
"Ngapain?"
"Minta sarapan."
"Gila lo? Seorang chef minta sarapan ke gue?"
Terdengar tawa renyah di ujung sana. It does change my mood, though. Senyumku sedikit mengambang.
"Ya enggak lah Ri. Emang lo punya makanan di kulkas? Gue pastiin nggak ada yang bisa dimakan." Sialan Radhi. Dia benar.
"Ada. Roti tawar masih ada tuh. E-di-ble," jawabku tak mau kalah. Cuma roti dan sebotol selai stroberi yang tinggal sedikit. Isi kulkasku ikutan mengenaskan.
"Cepetan turun. Bentar doang kok."
"Iya, iya. Tunggu." Walaupun ngedumel, aku tetap turun.
Dari kejauhan, aku melihat sebuah kotak abu-abu kepunyaan anaknya Radhi. Perasaanku sudah tidak enak.
"Lo kenapa bawa-bawa Siti pagi buta?" Uugh, aku sudah tahu ke mana kelanjutan cerita ini.
"Gue mau nitip Siti. Sorry." Wajahnya sudah memelas duluan. Aku tahu dia bakal begitu setiap menitipkan Siti ke aku. Siti, si kucing kampung seputih salju dan hanya bagian ekor panjangnya saja yang berwarna kuning hitam, dia ditemukan sedang mengais rejeki di depan restorannya. Radhi berprinsip adopt, don't shop. Yeah, aku mendukungnya. Aku bukannya nggak suka kucing. Tapi aku alergi bulunya! Oh iya, aku sudah pernah mengatakannya.
Dan Siti berakhir menjadi penghuni tetap apartemen Radhi, tetanggaku. Ralat. Tetangga tower sebelah. Aku di gedung apartemen studio, lebih irit di dompet. Dan Radhi di apartemen yang sebenarnya, dia tidak perlu memikirkan biaya tahunan karena hunian itu sudah menjadi miliknya. Tapi syukurnya, apartemen kami ramah hewan peliharaan alias.
"Kali ini berapa hari?" kataku sambil duduk di sofa lobi. Aku mengernyit tidak senang pada kotak abu-abu itu.
"Cuma dua hari. Besok malam gue jemput Siti lagi kok. Nggak lama-lama."
"Emang gue bisa nolak?"
"Bisa. Tapi pasti nggak tega kan, sama Siti? Masak mau dititip di pet care? Siti nggak nyaman di sana. Dia sukanya sama elo." Aku memutar bola mataku dramatis. Radhi malah tertawa.
Hiliiih. Bisa banget Si Tukang Masak bikin alasan. Kan aku jadi nggak tega. Sebenci-bencinya aku sama alergi gara-gara bulu Siti, tapi selama aku sering kena serangan mimpi, Siti sering tidur di kakiku atau di samping dadaku dan mendengkur dengan keras. Getaran dengkurannya menjalar ke sel-sel tubuhku dan memberi efek tenang, sedikit. Dan setelah itu aku bersin-bersih. Hadeeeh.
"Dan ini buat lo." Sebuah rantang tupperware berpindah ke tanganku. Aiiih, di kasih makanan. Mana bisa nolak aku?
"Asiiik. Makasih Radhi cayaaaang." Anaknya om Luqman langsung meringis jijik padaku. Hahahaha. Senang bisa mengerjai Radhi.
"Habisin ya."
"Iya. Eh, lo mau ke mana memang?" Setelah rantang, giliran Siti yang diserahkan padaku. Aku menerima sambil menjauhkannya dari tubuhku. Buru-buru aku letakkan Siti di kaki sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...