Sejak seminggu setelah izin sakit itu—dan saat itu adalah titik terendah dalam hidupku, aku bertekad bekerja bagai kuda. Semakin keras aku bekerja, semakin lupa aku akan bayangan itu. Sayangnya hanya bersifat sementara. Karena ketika bekerja, atau ketika menghadapi nasabah, rasa ingin menangis kadang muncul. Kamu bisa, Mahes. Begitu mantra yang aku ulang setiap waktu di kepalaku agar aku tetap kuat.
Namun sayang, kegigihanku dalam melupakan ingatan sial itu disalahartikan oleh rekanku yang lain. Mereka pikir aku jor-joran mengejar target dan bekerja lembur demi menjilat Pak William agar diberi rekomendasi kenaikan jabatan. Sial. Double sial.
Kupingku jadi terbiasa mendengar komentar seksis setiap hari gara-gara keteguhanku bekerja (sok) keras setiap hari. Awalnya aku gerah. Sangat geram! Kenapa mulut mereka seperti tidak ada bandrolnya. Buat apa mereka susah-susah sekolah tinggi sampai universitas tapi mulut seperti tidak pernah mengecap pendidikan. Masih saja suka merendahkan orang lain berdasarkan gender. Mulut mereka sungguh tidak terdidik.
Aku bukan seorang feminis, tapi kalau setiap hari kupingku mendengar lontaran kata-kata menyindir hanya karena aku perempuan, lama-lama aku bisa menjadi seorang aktivis feminist!
Ada saja komentar mereka yang tidak masuk akal, seperti seharusnya kamu menikah dan menjadi ibu rumah tangga saja—siapa mereka menyuruhku menikah, keluarga bukan, tetangga juga bukan.
Atau mereka bilang begini, pekerjaan ini memang nggak cocok untuk wanita seperti kamu—lalu wanita seperti apa yang cocok mendampingi mulut Anda yang seperti air comberan? Keseeeel.
Atau bahkan para manusia bertestosteron itu mengatakan, Kok marah, lagi PMS ya? Ha ha ha. Bercanda Mahes. For God's Sake! Aku ingin mereka mencoba merasakan datang bulan dan mengalami kram perut serta mood yang naik turun sehari saja! Dari begitu banyak bahan lelucon, kenapa PMS?
Salah satu dari mereka adalah Pram.
Risih? Sudah pasti. Tapi aku belajar, bahwa omongan mereka OMDO. Omong Doang. Kosong. Tidak perlu masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Perkataan mereka mental seperti bola bekel. Dan aku sudah kebal. Mereka mengatakannya hanya untuk bersenang-senang. Berkelakar sesama kaum adam. Tapi mereka tidak tahu bahwa pernyataan yang menyinggung jenis kelamin sangat tidak pantas diucapkan ke siapa pun!
Aku tahu mereka bermulut kurang ajaran sopan santun. Tapi aku harus bertahan. Bertahan di dunia kerja yang didominasi oleh pria. Bertahan karena aku butuh uang. Bertahan karena aku butuh distraksi dan butuh kesibukan agar pikiranku teralihkan dari memori tidak menyenangkan yang seperti jelangkung. Datang tak di undang, pergi tak di antar.
Hari ini aku dimarahi oleh atasanku Pak William karena terlambat satu jam menyerahkan laporan hasil survey calon klien dan beliau menyalahkanku karena surveyor di lapangan yang tidak becus dengan pekerjaan mereka. Aku tidak mengatakan kepada Pak William bahwa surveyor-ku terjebak buruh yang sedang berdemo. Aku terima makian beliau dengan tidak ikhlas. Walaupun demikian, Pak William adalah orang yang disiplin, dan beliau adalah role model-ku di perusahaan ini.
Ketika keluar ruangan beliau, aku melihat seseorang menyunggingkan senyum mengejek yang telah aku hapal. Pram. Pramana Bagus si komentator seksis. Tapi sayang sifatnya tak sebagus namanya. Manis di depan, tapi menjatuhkan di belakang. Dia tidak pernah bermanis-manis denganku. Dia sangat jujur tidak menyukaiku sejak pertama aku menginjakkan kaki di kantor ini. Sejujurnya bagus sih, jadi aku tahu siapa lawanku, siapa temanku di kantor.
"Dimarahin lagi Mahes? Mending minta pindah aja sama Pak Will ke cabang yang lebih kecil. Gue takut lo nggak bisa handle pekerjaan lo."
"Oh ya? Tapi sayang banget, kalau pun gue minta pindah, Pak William nggak akan mengabulkan permintaan gue karena sejak gue menggantikan Credit Analyst yang dulu, pencapaian naik tiga ratus persen, kalau lo lupa," kataku sambil melenggang santai ke meja kerjaku yang berada dekat dengan jendela kaca luas menghadap jalan raya padat di bawah sana. Dan, jackpot. Si Pram berhasil aku bungkam dengan pencapaianku dua bulan lalu. Dia kembali berkutat dengan apa pun itu di komputernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...