Dan serangan panik itu datang.Tanganku gemetar ketika mengaduk-aduk tas pemberian Radhi. Aku mencari botol putih kecil yang berisi obat penenang dari dokter. Kata beliau, obat ini diminum bila keadaan sangat mendesak. Dan aku sangat membutuhkannya saat ini. Aku ambil satu butir dan ketika akan menelannya dengan air di tumbler yang selalu aku bawa dari apartemen, aku baru sadar obat ini akan membuatku mengantuk hebat. Buru-buru aku muntahkan lagi di lantai parkiran.
Sial, sial.
Tanganku masih tremor. Jantungku berdegup amat kencang sampai-sampai organ pemompa darah itu rasanya ingin keluar dari rongga dada. Aku bekap kedua tanganku ke dada agar berhenti bergerak sendiri walaupun tidak akan berpengaruh banyak. Sudah lama aku tidak terkena serangan panik begini.
Aku butuh pengalihan. Radhi! Aargh, Radhi pasti sedang di jalan. Dia menyetir mobil sendirian ke Bandung. Baiklah. Inhale, exhale. Inhale, exhale. Inhale, exhale. It's not WORKING this time!
Radhi pernah bilang sesuatu seperti istighfar. Apa itu ya? Lord. Dia selalu menyuruhku mengatakan kata itu bila serangan panikku muncul. Astah, astahfir, Astaghfirullah. Ya. Itu dia. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Aku mengulangnya berpuluh kali dengan lirih. Lambat laun detak jantungku melambat, dadaku tak seberat yang tadi. It worked! Berhasil. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Allah. Thanks Rad.
Entah sejak kapan aku jauh dari Tuhan. Setidaknya aku masih ingat nama Tuhanku sendiri. Tapi betapa pun jauhnya aku dengan Tuhan, Radhi tidak pernah bosan mengingatkanku, mendekatkanku dengan Tuhanku. Tuhan Radhi juga.
Kini aku kembali bisa berpikir jernih, menganalisa segala kemungkinan terburuk. Pulang menemui Papa berarti memungkinkan banyak hal akan terjadi. Menginjakkan kaki ke rumah bisa jadi membangkitkan amarahku. Emosiku mudah tersulut sekarang. Pun, dengan menangis. Aku mudah terbawa suasana. Dan bila pulang, aku akan bertemu Mama yang kemungkinan besar tak akan menyambutku dengan ramah dan pelukan hangat. Bisa-bisa aku hanya akan bertengkar dengan beliau. Dan mungkin saja aku akan bertemu orang itu, yang selama beberapa bulan ini ingin aku hindari. Semua opsi itu berputar-putar dalam benakku. Aku harus bagaimana? Aku, belum siap.
Tapi yang jauh lebih mendesak saat ini adalah menghilangkan kekacauan di wajahku. Aku tidak mungkin muncul di tengah rapat dengan wajah sembab dan mata bengkak seperti ini.
Butuh waktu sepuluh menit untuk memperbaiki riasanku. Aku menggunakan kemampuan makeup pas-pasan untuk menyembunyikan sisa-sisa tangisan dan mata bengkak, yang pasti tidak akan hilang dalam waktu dekat.
***
"Mahes."
Seketika aku duduk tegap di kursi dengan kepala pusing tujuh keliling. Literally pusing. Pandanganku berputar karena bangun dengan cara terkejut. Jantungku berdebar tak karuan karena kaget. Kalian akan paham bila dibangunkan dengan cara dikagetkan dan pasti merasakan sensasi yang sama denganku.
Suara tegas dan berwibawa itu. Aku mengenalinya langsung tanpa harus menoleh ke sumber suara. Pak William.
"Pulang gih. Daripada nggak produktif," bisik Pram dari mejanya.
Sialan Pram. Aku tidak mampu berkutik karena aku memang salah. Tidur di meja dalam jam kerja, jelas tidak profesional.
"Ya, Pak?"
"Ikut saya."
"Ke mana, Pak?"
"Ketemu nasabah prioritas. Bu Latifah. Katanya dia mau transaksi sama kamu."
Ah, Bu Latifah pemilik toko meuble sekelas IKEA, tapi skop lebih kecil. Juga usaha beauty shop yang sudah punya beberapa cabang di Jakarta.
"Baik, Pak." Aku segera memasukan laptop, beberapa dokumen penting, dan ponsel ke tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...