5. Gara-gara Mimpi

182 16 0
                                    

Malam ini adalah malam kesekian aku 'menikmati' lemburku di kantor. Capek, tapi aku suka meletihkan badan dengan niat bisa langsung tidur ketika di apartemen nanti. Tidak akan ada Cantika malam ini karena kami beda divisi. Dia tentu pulang lebih dulu. Sedangkan aku masih berkutat dengan laporan hasil follow up nasabah dan menyusun program promosi untuk bulan depan.

Selain itu, aku senang, akhirnya barang yang kami diskusikan di cafe waktu itu sudah ada di laci meja kerjaku dan di tas. Kami langsung memesannya dan semua barang ada di satu toko di Jakarta. Tinggal pesan, barang sampai. Yaay. Aku memesan alarm, pepper spray, dan stun gun. Setidaknya aku bisa merasa lega.

Dan astaga! Aku belum makan malam.

Cuma satu orang yang bisa aku andalkan bila sedang kelaparan seperti saat ini.

"Halo, Rad. Sibuk lo?" Aku mengapit ponsel diantara telinga dan bahu kanan. Aku hanya tidak mau menyia-nyiakan waktu dan melakukan pekerjaan dengan mode multi-tasking sambil mengetik di laptop. Time is money.

"Wa'alaikumsalam Maheswari." Suaranya terdengar lelah di ujung sana.

"Eh, iya lupa. Assalamu'alaikum Radhi."

Aku tidak bisa melawan kata-katanya. Radhitya, si celebrity chef, si alim, dan si sahabat masa kecil. Radhi, sahabat sejak masih memakai popok sampai sekarang. I also blessed to have him by my side.

"Wa'alaikumsalam. Lo pasti lembur. Mau dibuatin apa, Ri? Kemaren gue pesan wagyu A5. Lo mau nggak gue buatin steak?" Hehe, si Radhi tahu saja aku sedang lembur. Aku terharu. Pegal juga ni leher. Aku ganti posisi ponsel ke sebelah kiri.

"Yang biasa aja Rad. Gue lagi pengen makan itu. Kangen masakan bibi." Bi Darmi, aku kangen Bibi.

"Oh, ya udah. dua puluh menit lagi meluncur ke sana."

"Thanks Radhi, ma man. Lo emang terbaik."

Aku mendengar dengkusan. Radhi paling pantang di puji. Tunggu saja, dia pasti akan protes.

"Lo cukup bilang terima kasih. Nggak perlu pakai embel-embel di belakang." Apa kataku, benar kan?

"Gitu aja sewot."

"Lo jangan kelamaan kerja. Banyak istirahat. Mau pingsan lagi, lo?" Astaga, baru saja aku puji. Bawelnya langsung keluar.

"Kerjaan gue banyak. Udah ah. Bawel. Assalamu'alaikum." Aku mendengar gerutuan halus tepat sebelum aku mematikan sambungan telepon. Haha. Rasain kamu, Rad.

Dua puluh menit kemudian Gilang datang dengan motor matic putihnya. Dia adalah kurir khusus yang di perintah Radhi untuk mengantar pesananku. Asal kalian tahu, Restoran Radhi tidak menerima pesan antar. Eksklusif makan di tempat. Begitulah konsep Restoran Amaranggana. Tapi Radhi membuatnya eksklusif bisa pesan antar untukku. Hanya untukku.

"Hai, Lang. Ada sesuatu buat gue?" Aku menunggunya di halaman kantor.

"Hai, Kak Maheswari. Ada. Tentu saja." Gilang menyerahkan paper bag dengan dua kotak di dalamnya. Radhi selalu mengisi tas ini tak hanya dengan pesananku, tapi juga makan tambahan lain. Kali ini salad buah.

"Ini buat lo." Aku menyelipkan tips untuk Gilang.

"Gak usah Kak, makasih." Gilang menolaknya dengan halus. Ini anak kok baik banget sih?

"Lo harus terima Lang. Ini jerih payah lo mengantar makanan gue maghrib begini. Rezeki nggak boleh di tolak Lang. Hitung-hitung buat beli bakso." Dan aku tidak suka penolakan.

"Baik Kak. Terima kasih Kak Maheswari." Ia terkejut melihat warna uang yang aku beri tadi. Gilang bisa beli banyak porsi bakso dengan selembar uang merah itu. Nah, kan aku senang. Gilang, Gilang. Dia baru tamat dari SMK Tata Boga, cerita Radhi. Tapi karena belum mampu untuk kuliah, Radhi menerimanya di restoran, walaupun sebenarnya Gilang tidak memiliki kualifikasi yang tepat untuk Restoran Radhi yang berkelas.

MAHESWARI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang