12. Lagi-lagi UGD
"Ari, lo udah sadar? Lo nggak apa-apa? Demi Allah, jangan pernah bikin gue jantungan lagi Maheswari! I beg you."
Suara itu lagi. Suara yang lembut dan cemas di saat yang sama. Aku merasakan jemari dingin yang menyentuh pipi dan dahiku melalui ujung jarinya. Seseorang membelai kepalaku lembut, seakan aku adalah barang rapuh.
Lampu di langit-langit ruangan ini terlalu silau. Tapi harus aku paksa kelopak mata ini untuk membuka. Aku tidak suka sensasi disorientasi waktu atau kebingunan lagi saat berada entah di mana ketika terbangun di suatu tempat asing.
Sesaat kemudian mataku menemukannya. Sepasang mata cemas nan sendu yang juga menatapku. Tukang Masakku...
"Radhi, gue di mana?" tanyaku setelah benar-benar sadar. Radhi kelihatan lega. Tapi aku lebih lega ketika orang yang pertama kali aku lihat adalah orang yang sangat familiar. Sahabatku.
"Lo di UGD Ri. Lo tadi pingsan," jawab Radhi sambil tersenyum. Senyum sebaris. Sepertinya dia barusan memaksakanya.
"Oh, sh*t."
"Language, Maheswari!"
O-ow, aku keceplosan. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Aku merasa bersalah sejujurnya.
"Maaf," ucapku dan tersenyum lemah. "Astagfirullah," sambungku cepat-cepat. Alhasil, Radhi tersenyum manis, semanis senyuman sejuta dolarnya yang selalu dia umbar di depan kamera TV nasional.
"Jauh lebih baik." Aiiih, Radhiiii. "Minum dulu." Radhi membantuku memegang sedotan agar aku nyaman minum teh manis yang panasnya suam-suam kuku. Tak masalah. Tubuhku butuh yang manis-manis. Walaupun Radhi manis, tapi aku butuh manis yang sebenarnya.
"Makasih. Berapa lama gue pingsan, Rad?"
Dia melihat jam tangannya lalu berkata, "Sekitar satu jam."
"Mas Wira dan Mas Dika ...."
"Gue nggak kasih tahu mereka." Aku memejam mata lalu menghembuskan napas pelan. Radhi masih mengingat pesanku dulu untuk tidak memberi tahu Mas Wira dan Mas Dika apapun mengenai depresiku maupun pengobatanku. Apalagi aku yang pingsan ini. Dua kakak laki-lakiku itu akan berubah menjadi lebay bila terjadi sesuatu padaku. Like, kalian tidak akan mau tahu apa saja yang bisa kedua kakakku itu lakukan untuk melindungi adiknya ini.
"Makasih. I appreciate it."
"Never mind," kata Radhi bersungguh-sungguh. Baiklah. Dia benar-benar tukang masak kesayanganku.
"Rad, mengenai anak kecil yang diberitakan tadi... apa lo tahu perkembangan kasusnya?" tanyaku lambat-lambat. Aku melirik Radhi harap-harap cemas dan meremas pinggiran selimut demi menyalurkan perasaan was-was akibat nasib anak kecil yang malang tadi.
"Tadi gue denger selentingan dari perawat di sini, pelakunya udah ketangkap Ri. Alhamdulillah."
"Syukurlah, Alhamdulillah." Aku lega. Si pelaku pantas diberi hukuman terberat yang bisa hakim beri pada mereka, para penjahat kelamin baji... Astagfirullah. Maksudku penjahat itu. Namun, yang membuat aku kesal, dari informasi yang aku baca di portal konsultasi hukum, hukuman bagi pelaku pelecehan seksual maksimal hanya 15 tahun penjara dan denda paling banyak 5 milyar. What the hell?! 15 tahun tidak cukup bagi mereka. Trauma bagi korban akan berlaku seumur hidup. Terutama trauma psikis. Tidak adil.
Aku bukti hidupnya. Sekeras apa pun aku coba melupakan kejadian puluhan tahun yang lalu itu, tetap tidak bisa. It stuck in my memory with super glue for.e.ver.
"Tapi pelakunya nggak cukup di penjara, Rad." Suaraku bergetar. Amarah tiba-tiba menguasai rongga dadaku.
"I know. Mungkin menurut kita hukuman mereka di dunia nggak sebanding dengan perbuatan mereka, tapi pengadilan Allah sangat Adil, Ri, kelak di akhirat nanti. Kita harus yakin dan percaya itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...