Hi there
Udh lama enggak update.
Bab ini untuk kalian. Moga masih inget ceritanya. Hehe. Siapin tisu
Met puasa---
"Kenapa Pa? Kenapa Ari merasa perlakuan Papa dan Mama berbeda sama Ari? Ari lelah Pa dengan prasangka yang menumpuk di hati Ari. Atau jangan-jangan Ari memang bukan bagian Pradipa seperti kata Mama tadi."
Papa malah semakin mengeratkan pelukannya. Kami melepas kesedihan masing-masing dalam diam, sesekali terdengar isakan dariku dan Papa.
"Ari! Bukan begitu maksud Mamamu. Kamu adalah seorang Pradipa. Darah Papa mengalir di nadi Ari." Getaran isakan Papa sampai ke runguku. Merambat sampai ke hatiku. Menyiksa batinku.
Aku menarik diri dari Papa. Kulihat mata Papa merah, pipinya basah dengan air mata. Tanganku spontan terangkat menyeka air mata Papa. Aku tidak tega melihat orang yang biasanya tegap, tegar, dan tangguh tiba-tiba menjadi sangat rapuh.
"Setidaknya beri Ari penjelasan. Mengapa Ari diperlakukan berbeda dari Mas Wira dan Mas Dika, Pa? Jangan bohongi Ari. Ari sudah merasakannya sejak kecil, tapi Ari nggak pernah bertanya ke Papa dan Mama karena Ari takut dengan jawaban yang akan Ari dengar nanti," kataku disela-sela tangis.
"Tidak ada penjelasan karena tidak ada yang perlu dijelaskan Nak. Ari anak Papa dan Mama. Itu sudah lebih dari cukup." Papa menyangkutkan anak rambut ke telingaku, kemudian beliau membelai kepalaku lembut.
"Tapi nggak cukup untuk Ari yang selalu merasa tersisihkan." Aku membuang wajahku ke samping walaupun kesedihan, kemarahan, dan kebingungan yang hadir bersamaan tak dapat kusembunyikan. "Apa lagi Mama. Selama ini yang ngasuh aku Bibi, Pa. Bukan Mama. Dan Papa terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ari merasa ditinggalkan. Benar kan, Ari bukan bagian Pradipa?"
"Kamu salah besar, Nak!"
"Jadi bagian mana yang benar, Pa?" Papa tak mau menjawab. "Perlakuan Mama ke Ari yang berat sebelah? Ulang tahun Ari yang enggak pernah dirayakan sementara ulang tahun Mas Wira dan Mas Dika penuh dengan kado dan makanan enak? Untuk semua masakan kesukaan Mas Dika dan Mas Wira yang dibuat langsung sama Mama, tapi ketika giliran Ari, cuma Bibi yang masakin Ari. Untuk semua dukungan penuh Mama ke Mas Wira dan Mas Dika atas usaha mereka. Ari? Mungkin Mama nggak tahu dan nggak mau tahu Ari kerja di mana. Semua pertemuan guru dan wali murid ketika mereka sekolah dulu, Mama selalu datang. Sedangkan Ari? Papa aja nggak pernah ambil rapor Ari. Kadang Bibi yang ke sekolah, kadang Ibunya Radhi. Kalau gitu orang tua Ari siapa, Pa? Ari nggak pernah masuk dalam bagian hidup Mama, hidup Papa," ucapku tergugu. Akhirnya, semua sakit hati yang telah terkumpul berpuluh tahun keluar juga.
Lagi, Papa tak bersuara setelah semua semburan amarahku.
"Mau Ari sebutkan lagi keanehan lain keluarga ini sama Ari?" Papa menggeleng lemah, seakan memohon aku berhenti.
Papa mengusap pipiku lembut yang basah lalu tersenyum walaupun sepertinya Papa kesusahan hanya untuk melakukan hal sederhana itu.
"Maafkan orang tua ini ya, Nak. Maafkan Papa."
"Ari butuh penjelasan, bukan maaf. Tanpa Ari tuntut, Ari berhak mendapatkan maaf kalian!" Aku tak tahu suara dari mana yang menggema barusan. Apa aku barusan menggeram? Apa yang barusan aku katakan pada orang tuaku?
"Ari, nanti ya. Nanti."
"Tapi Pa-"
"Kamu anak yang sangat cantik Ari. Papa sangat bersyukur, kamu hadir ke dunia dan bersama Papa." Papa lalu diam sebentar, mengamatiku dengan lekat. Lalu beliau berkata, "Matamu, rambutmu, kulitmu, dan sifatmu sungguh mirip dengan Mamamu, Nak. Dan Papa sekali lagi sangat bersyukur kamu sudah hadir di dunia ini. I can see her through you, Maheswari."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
EspiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...