16. Lingga

85 8 1
                                    

“Uhuk uhuk uhuk.”

Radhi tersedak lasagna. Dia terus batuk sampai aku bukakan tutup botol air mineral dan menyodorkannya pada Radhi. Aku menepuk punggungnya walaupun hal itu tidak terlalu berarti untuk orang yang sedang tersedak.

“Keselek, Rad?” Aku sodorkan tisu untuknya. Ia mengambilnya dan menyeka mulut dan hidungnya.

“Iya,” jawabnya kalem sambil membersihkan tenggorokannya.

Aku menunggu Radhi tenang, tapi dia malah melanjutkan makannya. Aku merasa berurusan dengan bocah yang terperangkap dalam tubuh dewasa! Mungkin setelah lasagna ini habis, aku akan bertanya lagi.

Kami selesai makan dalam diam. Tepatnya Radhi yang sudah selesai makan, dan aku masih berjuang menghabiskan sisa lasagna ini.  Pertama, karena tadi aku sudah makan malam. Kedua, sulit untuk berkonsentrasi makan kalau Radhi hanya diam dan menyetir mobilnya berkeliling Jalan Pasteur tanpa bicara sepatah kata pun.

“Kamu nggak capek, Rad? Udah jam 10. Besok kamu bakal nyetir lagi.”

“Nggak apa-apa,” jawab Radhi sambil terus menatap jalan. Sesekali dia melirikku.

Akhirnya habis juga makanan Mbak Tara. Aku membereskan kotak dan menyatukan semua sampah dalam satu plastik.

Good. Kamu perlu makan yang banyak,” katanya sambil menyentuh ringan kepalaku.

“Kamu suka nyentuh kepalaku. Kenapa?”

“Kamu nggak suka, Ri? Maaf, untuk seterusnya aku nggak akan pegang kepala kamu lagi,” ucap Radhi serius. Dia menatapku lama dan sesekali menatap ke jalan. Jalanan sudah mulai sepi.

“Nggak begitu, Rad. Bukannya aku nggak suka, tapi kenapa? Apa alasannya?”

“Nggak tahu. Aku suka aja, no reason,” jawabnya singkat, padat, dan jelas. Aku tahu aku tidak seharusnya senang, tapi alasan nggak jelas Radhi entah kenapa membuatku sedikit, sedikit saja merasa bahagia. Boleh, kan?

“Mengenai Mas Lingga,” kataku menjeda. Radhi bereaksi. Dia menegang, tapi dengan cepat merilekskan tubuhnya. I knew it. He knows something.

“Kenapa dengan Mas Lingga?”

“Kamu sewot dan panik saat aku sebut nama dia di telpon.”

“Masa?”

“Rad, nggak usah bohong. Karena kamu nggak bisa bohong ke aku,” kataku setengah memohon.

“Apa yang ingin kamu tahu?”

“Pertanyaan yang lebih tepat adalah, kamu tahu apa soal Mas Lingga dan aku? Kamu langsung cemas mendengarku menyebut nama Mas Lingga dan kamu langsung menemui aku ketika kamu sedang berada di tengah acara penting orang tua kamu, Rad. You know something about me, right?

Aku sudah melihat neon box hotel tempat aku menginap dari jarak 20 meter. Dalam hitungan menit, kami sampai kami di halaman hotel. Dan aku masih belum mendapat jawaban dari Radhi hingga kami berada di depan pintu kamarku.

Radhi memutuskan bungkam seribu bahasa. Lama-kelamaan dia ngeselin. Kalau Radhi nggak mau jujur, aku tambah yakin kalau dia sudah tahu. Hanya saja aku butuh mendengar pengakuan langsung dari mulutnya sendiri.

MAHESWARI [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang