Rapat pagi ini seperti berlangsung seharian. Padahal baru berjalan satu jam. Entah karena pikiranku terus-menerus memutar opsi-opsi yang kubuat kemarin: rumah, Papa, Mama, ditambah si bejat, atau karena perdebatan Pak Subhi dan Pak William yang tidak berkesudahan mengenai perlu atau tidaknya mengadakan event demi menggaet nasabah di mall-mall besar di Jakarta.
Yang aku tangkap dari perdebatan tidak penting ini adalah Pak Subhi merasa event itu perlu dan sangat efektif. Sedangkan Pak William berpendapat event seperti itu hanya buang-buang uang dan tenaga.
Kepalaku sakit sejak tadi. Mungkin karena tadi malam praktis aku tidak tidur sama sekali. Jadi aku hanya diam, dan berlagak mendengarkan mereka. Sesekali aku memijit pelipis dan batang hidungku. Tempat itu nyut-nyutan dan membuatku meringis. Buku catatanku hanya berisi tanggal, isi rapat di lima menit pertama, dan coretan abstrak. Aku bahkan sempat menggambar si Siti sedang tidur di sofa.
Tiba-tiba Pak William menyenggol kakiku di bawah meja. Sontak aku menegakkan badan dan memasang kuda-kuda kalau-kalau aku di tanya. Tapi tentang apa? Jujur aku blank maksimal.
"Maheswari, menurut anda bagaimana?"
"Ya Pak?" Pak Subhi mengarahkan pointer-nya kepadaku. Dari sudut mataku, selembar kertas post it hijau bergerak lambat ke bawah buku catatanku. Aku membaca tulisan cakar ayam yang sangat familiar itu.
Mall tidak efektif. Harus jemput bola.
Sial. Ah bukan. Astaghfirullah. Ternyata Pak William yang mendorong kertas itu. Berkat Radhi, alih-alih mengumpat aku disuruh menukar umpatan dengan ucapan istighfar.
"Menurut pengalaman saya di lapangan, event di mall kurang efektif pak. Tapi jika kita melakukan literasi dan promosi secara personal seperti mendatangi suatu instansi, perusahaan, atau pun komunitas, itu akan jauh lebih efektif dari segi waktu, biaya, dan tenaga Pak. Saya bisa memberikan data berupa tempat dan tujuan literasi apabila dibutuhkan. Bahkan saya bisa melobi beberapa pimpinan perusahaan yang berpotensi menjadi calon klien." Ah, sudah lah. Aku pasrah saja ke mana diskusi ini akan berakhir.
"Masuk akal. Bagaimana dengan pendapat yang lain?" Pak Subhi melontarkan ide asal-asalanku ke yang lain? Lalu buat apa Bapak buang waktu untuk berdebat tadi? Tuhan, aku harus bagaimana kalau mereka setuju?
No way! Kenapa peserta rapat malah menyetujuinya? Aku bisa melihat Pak William tersenyum dari sudut mataku. Pak Subhi yang awalnya menentang habis-habisan malah ikutan setuju. Mati aku. Lihat saja, pasti aku yang ditunjuk untuk menjadi person in charge event ini.
"Mahes, kamu buat rencana kegiatan acara, daftar perusahaan, komunitas, instansi yang bisa kita datangi lalu bicara dengan divisi produk, buat rencana promosi, diskon, dan pilih produk unggulan apa saja yang bisa kita jual. Temui saya tiga hari lagi. Kalau begitu sekian rapat hari ini. Sampai ketemu dalam rapat persiapan event minggu depan. Selamat pagi dan selamat bekerja." Pak Subhi merapikan kertas dan map lalu keluar dari ruangan rapat diikuti karyawan lain. Pak William menepuk bahuku pelan sambil tersenyum dan keluar menyusul karyawan lain.
Aku duduk lemas tanpa tenaga menatap kosong lukisan pemandangan sawah sengkedan di hadapanku. Kepalaku tambah sakit. Peduli amat dengan usulanku tadi. Aku rebahkan saja kepala nan berat ini di meja bundar. Toh tidak ada orang lain lagi di sini walaupun dinding ruangan dipartisi dengan kaca bertirai.
Sebenarnya aku butuh obat penghilang rasa sakit, tapi pantatku tak bisa diajak berkompromi untuk mangambilnya di laci meja. Tak hanya kepala yang berat. Kelopak mataku juga ikut-ikutan memberat gegara efek tidak tidur samalaman.
***
Astaga! Ternyata aku benar-benar ketiduran di ruang rapat. Getaran ponsel dari dalam saku blazerlah yang membangunkanku. Dan getaran itu tidak berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWARI [Completed]
SpiritualMaheswari pikir hidupnya sudah cukup sial berada di tengah keluarga Pradipa. Ia salah besar. Kesialannya justru bertambah-tambah setelah sebuah ingatan celaka dua dekade yang lalu muncul dan memorak-porandakan hidupnya yang sudah hancur. Sejak saat...