Excited!
Itulah yang dirasakan oleh Lizzy ketika akhirnya sampai di pintu kaca sebuah gedung pencakar langit di tengah kota New York. Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dengan kereta bawah tanah, wanita berambut pirang itu menghirup udara segar dan wangi aromaterapi ketika dirinya membuka pintu tersebut.Langkahnya tegap dan penuh percaya diri menuju meja resepsionis. Dia telah mempersiapkan segalanya, mulai dari mengenakan pakaian rapi, membawa portfolio, sampai berlatih menjawab pertanyaan. Senyuman sumingrah segera ditampakkannya begitu Sang Resepsionis menyapa.
"Good morning. How can I help you?" Sarah, Si Resepsionis bertanya. Dia memandang lurus ke mata Lizzy.
"Good morning. Aku Lizzy Scott, ingin bertemu dengan Miss Langdon untuk wawancara," jawab Lizzy.
"Tunggu sebentar, Miss Scott. Akan saya cek dulu." Sarah mengetikkan pada keyboard-nya dan sedetik kemudian keningnya berkerut. Bola matanya bergerak berulang dari kiri ke kanan. "Tak ada yang bernama Lizzy Scott di daftar kami," lanjutnya.
"Oh, maaf. Maksudku Elizabeth Scott. Lizzy adalah nama panggilanku," ujar Lizzy. Memalukan sekali bisa salah menyebutkan nama pada wawancara pertama.
"Oke, Miss Elizabeth Scott. Ariana hari ini berhalangan untuk wawancara, tetapi Anda akan diwawancarai oleh asisten beliau di Ruang Terapi. Naik lift ke lantai delapan. Ruang Terapi berada di sebelah kanan."
Lizzy mengangguk mengerti.
Sarah berdiri untuk memberikan kartu akses lift kepada Lizzy. "Silakan," katanya.
"Thanks, Sarah," Lizzy menerima kartu tersebut, lalu berlari kecil menuju lift yang berada di belakang meja resepsionis. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan ruang terapi. Terapi apa yang dijalankan di sana dan untuk apa ada ruangan seperti itu. Dan lagi, kenapa asisten Ariana Langdon, desainer terkenal se-Amerika memilih ruangan tersebut.
Pintu lift terbuka dan dua orang berpenampilan modis keluar. Kedua wanita itu juga membawa beberapa map dan memakai sepatu formal seperti Lizzy. Mereka memperhatikan Lizzy dari atas sampai bawah, lalu saling berbisik dan berlalu.
Lizzy memilih untuk tidak menggubris mereka. Dia tak ingin merusak mood awalnya karena keinginannya memang untuk mendapatkan pekerjaan di sana. Maka, wanita berkulit putih itu pun melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka delapan.
Ruang Terapi tidaklah sulit ditemukan. Begitu keluar dari lift, Lizzy hanya tinggal mengambil lorong sebelah kanan dan ruangan pertama adalah ruangan yang dimaksud. Sebelum mengetuk pintu biru mudanya, Lizzy menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Tok tok!
"Tunggu sebentar." Terdengar suara pria dari dalam. Dari nada suaranya, pria itu seperti sedang terburu-buru.
Apakah dia sudah menantikan kedatangan Lizzy? Apa kesan pertama dari pria itu ketika melihat Lizzy? Pertanyaan seperti apa yang akan dia ajukan?
Lizzy percaya pada kemampuan akademiknya karena dia adalah salah satu lulusan terbaik untuk Jurusan Fashion Design di Drexel University. Bekerja pada perusahaan desain fashion besar dengan merk dagang sendiri Ariana Langdon tentu sangat diidam-idamkan oleh banyak calon desainer profesional yang ingin belajar lebih lagi di bidang fashion.
Lizzy sendiri telah memiliki bakat dalam mendesain pakaian sejak masih di bangku sekolah. Ibunya sering melihat gambar-gambar Lizzy dan memutuskan untuk mendukung passion putri semata wayangnya itu dengan memasukkannya ke salah satu universitas fashion design terbaik di Amerika.
Bekerja di New York memang telah menjadi impian Lizzy jika ingin berkarir dalam bidang ini meskipun harus berjauhan dengan ibunya yang tetap tinggal di Philadelphia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duke And I
RomanceLizzy Scott diterima bekerja di perusahaan fashion yang diidamkannya selama masa kuliah. Sebagai asisten pribadi Ariana Langdon, desainer pakaian terkenal dunia, dia sangat senang bekerja di bawah Ariana langsung karena bisa belajar lebih banyak men...