Lizzy terkejut dan segera memundurkan badannya hingga menempelkan seluruh bagian punggungnya ke jok. Seketika, wangi parfum Gerald tercium olehnya. Wangi yang manis namun maskulin. Sedangkan jantungnya, jangan ditanya, sudah menari-nari dari tadi. Lizzy tidak tahu apa yang akan Gerald lakukan, tetapi pria itu bukan menatapnya.
Gerald meraih tuas di samping jok Lizzy, menariknya, dan mendorong jok ke belakang. Otomatis badan Lizzy ikut bergerak mengikuti jok tersebut. Sekarang pria tampan itu memutar kepalanya untuk menatap Lizzy. "Sudah nyaman?" tanyanya.
Butuh waktu beberapa detik bagi Lizzy hanya untuk menjawab Gerald dengan anggukan pelan. Kedua matanya masih terbelalak dan degup jantungnya tidak karuan. Sudahlah Lizzy, dia calon suami orang. Kesadaran Lizzy muncul memperingatinya agar tidak terbawa suasana dengan pria yang telah memiliki tunangan secantik dan segalak Emily. Tentu Lizzy tidak akan mau bermasalah dengan supermodel itu.
Gerald tersenyum memamerkan lesung pipinya yang manis, kemudian dia menegakkan badannya kembali di belakang kemudi. "Siap?" tanyanya.
"Yes, Sir," jawab Lizzy yang masih berusaha menstabilkan dirinya, mencoba terdengar datar dan biasa.
Gerald memasukkan gigi dan menginjak pedal gas. Pria itu memang tidak hapal jalan di New York, tetapi kalau dari hotel tempatnya menginap ke kantor Ariana Langdon saja, dia sudah tahu, sehingga Lizzy tidak perlu mengarahkan jalan.
Tak ada yang berbicara selama sepuluh menit perjalanan. Gerald memperhatikan jalan, sedangkan Lizzy sibuk dengan pikiran canggungnya.
"Bolehkah aku bertanya?" tanya Gerald memecah keheningan.
"Silakan, Sir."
"Kenapa kau ingin menjadi desainer?"
Lizzy menghela napas sebelum menjawab, "Ini merupakan passion-ku sejak di bangku sekolah, Sir. Waktu kecil, aku suka mengganti-ganti pakaian boneka Barbie. Aku memiliki bonekanya hanya beberapa buah, tapi koleksi pakaiannya banyak sekali." Wanita berambut hitam itu tersenyum mengenang masa kecil, kemudian dia melanjutkan ceritanya, "Tidak puas dengan koleksi yang kumiliki, aku menggambar sendiri desain baju yang kuinginkan untuk mendandani bonekaku. Aku bahkan menjahitnya dengan bantuan ibuku. Dialah yang memberiku motivasi agar memperdalam ilmu di bidang fashion jika aku sangat menyukainya. Ya, aku ingin sekali," dia terkekeh. "Karena itulah aku mendaftar ke Drexel University jurusan Fashion Design di Philadelphia. Dari situ aku banyak belajar dan menjadi lebih mencintai dunia fashion."
Lizzy ingat bagaimana perjuangannya di masa kuliah, bagaimana dirinya hampir tak punya waktu istirahat lantaran terlalu memikirkan desain-desain pakaiannya. Tiba-tiba, Lizzy tersadar dan kembali ke masa kini. "Maaf, Sir, aku terlalu banyak bicara," dia menundukkan kepala, merasa malu dan lancang karena lebih banyak omong daripada Sang Duke di sebelahnya.
Sudut bibir Gerald melengkung ke atas. "Tidak apa-apa. Jadi kau memang lahir untuk menjadi desainer ya," Gerald mengangguk mengerti.
"Seperti itulah, Sir. Bagaimana dengan Anda? Setahuku, gelar Duke diberikan oleh Sang Raja atau Ratu," tanya Lizzy ingin tahu.
"Ya, aku memperoleh gelar Duke dari Yang Mulia dan aku memerintah kota Edinburgh di Skotlandia. Kau pernah ke Skotlandia?"
"Belum. Aku tidak pernah ke mana-mana sejak perceraian orangtuaku," jawab Lizzy yang diakhiri dengan rasa sesal karena membeberkan masalah keluarganya. Untuk apa menceritakan hal receh semacam itu kepada seorang duke? "Maaf," ucapnya.
Gerald tersenyum, menampilkan lesung pipinya. "Tidak perlu meminta maaf. Pasti berat sekali pada masa itu."
"Yeah. Saat itu aku baru masuk junior highschool." Memori tentang pertengkaran yang sering orangtuanya lakukan mulai muncul dalam ingatan Lizzy. Gadis belasan tahun bernama Elizabeth Scott harus menyaksikan ayahnya memukul ibundanya ketika sedang mabuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duke And I
RomanceLizzy Scott diterima bekerja di perusahaan fashion yang diidamkannya selama masa kuliah. Sebagai asisten pribadi Ariana Langdon, desainer pakaian terkenal dunia, dia sangat senang bekerja di bawah Ariana langsung karena bisa belajar lebih banyak men...