Butuh beberapa detik bagi Lizzy untuk merespon kalimat Gerald. "Kau tahu aku tidak..."
"Aku tahu kau tidak bisa. Kita tidak bisa," Gerald menggeleng. "I wish I could fight the world for you."
Jantung Lizzy bagaikan dihantam palu besi karena baru kali ini dia melihat sinar mata abu-abu Gerald redup. Air mata Lizzy jatuh tanpa disadarinya. Wanita cantik itu pun menundukkan kepala, tidak ingin Gerald melihat wajahnya.
Namun, terlambat. Gerald mengangkat sebelah tangan dan menyeka air mata di pipi Lizzy. "Jangan menangis," katanya.
"Aku tidak menangis," Lizzy berbohong. Mati-matian dia menahan air matanya agar tidak terus-terusan keluar. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Senyuman yang dipaksakan harus diperlihatkannya kepada Gerald agar pria itu percaya.
Gerald tak menyahut apa-apa. Dia hanya diam, menunggu Lizzy lebih tenang. Amat menyakitkan melihat wanita pujaannya itu menangis. Bukannya mau membandingkan, tetapi Gerald tak pernah merasakan apa-apa ketika Emily merengek. Tetapi, kali ini berbeda. Dia menyesal telah membuat Lizzy menangis, meskipun tidak yakin akan penyebabnya.
"I'm sorry, Sir," kata Lizzy. "Kalau boleh, aku hanya ingin menunggu sampai tiba keberangkatanmu ke London, lalu aku akan pergi. Aku tidak ingin ada orang yang melihat kita berdua seperti ini dan berpikiran macam-macam."
"Jangan menghindar, Lizzy," cegah Gerald. "Kumohon, janganlah menghindariku." Pria itu memegang tangan Lizzy.
Namun, Lizzy buru-buru menarik tangannya. Dia sungguh tidak ingin menjadi topik pembicaraan lagi setelah kejadian kemarin.
Gerald mendengkus dan berhenti sejenak. Bangsawan asal Inggris itu ingin mewujudkan harapannya membawa Lizzy pulang kampung, tapi dia tetap harus menghargai perasaan dan keputusan Lizzy, juga menjaga hubungan yang baik dengan Ariana Langdon. "Very well," dia tersenyum. Dalam hati, dia mengagumi Lizzy yang memiliki pendirian teguh.
Lizzy menganggukkan kepala. Dia menangkap kepasrahan dalam kata-kata Gerald dan merasa lega karena akhirnya pria itu menyerah. Hidupnya tak akan terganggu lagi oleh keberadaan Duke of Edinburgh itu. Ke depannya, mereka hanya akan memelihara hubungan profesional antara desainer dan pelanggan.
Perpisahan Gerald dan Lizzy menyisakan kesan baik dan buruk di benak masing-masing. Setelah bersalaman di depan pintu keberangkatan, mereka bertatapan seolah telah melakukan perjanjian bisnis yang memiliki tujuan bersama. Namun, siapa yang menyangka bahwa keduanya mengenakan topeng bahagia. Lizzy menahan tangis di sepanjang perjalanan dari bandara ke kantor hingga membuat Stephen kebingungan, sedangkan Gerald menjadi pusat perhatian di dalam kabin pesawat lantaran membaca buku secara terbalik.
🪨🪨🪨🪨🪨
Seperti yang selalu dilakukannya setiap hari, Lizzy menyapa Sarah yang sedang menerima tamu di meja resepsionis. "Good morning," katanya.
"Good morning, Lizzy. Ariana menyuruhku untuk memberitahumu bahwa beliau menunggumu di kantornya," ujar Sarah.
Deg! Informasi Sarah membuat jantung Lizzy ciut.
"Kau tak perlu khawatir. Sepertinya mood Ariana sedang bagus hari ini. Dia bahkan bersenandung ketika berjalan menuju lift," Sarah tergelak.
Tawa Sarah mengundang senyuman di bibir Lizzy. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Sarah," ucapnya, lalu bergegas naik ke lantai 10. Dia berdoa berulang-ulang, mengungkapkan keikhlasannya kepada kehendak Tuhan, apapun itu.
Pelan-pelan Lizzy mengintip di pintu kantor Ariana. "Kau memanggilku?" tanyanya.
Ariana mendongak. Bos cantik berambut panjang itu berdiri. "Ya. Masuk, Lizzy," perintahnya. "Kau pasti tahu kenapa aku memanggilmu," katanya setelah Lizzy masuk beberapa langkah ke dalam ruangan.
Lizzy tak bisa menutupi kegugupannya. "Ya, Ariana. Jika boleh, aku ingin menceritakan kejadiannya dari awal," jawabnya.
"No need. Aku sudah melihat semuanya dari rekaman CCTV. Kau tidak bersalah, tapi aku minta supaya kau tidak menjalin hubungan dengan Sang Duke." Ariana memang selalu bicara tegas dan blak-blakan.
"Baik, Ariana. Tapi... bolehkah aku tanya alasannya?"
Ariana melangkah ke depan mejanya. Dia tersenyum miring dan menaikkan sebelah alisnya. "Alasannya sederhana. Kau tak ingin berurusan dengan Emily Foster," jawabnya seraya menyandarkan bokong di meja kerjanya dan menyilangkan lengan di depan dada. "Kurasa sekarang Sir Gerald sedang memikirkan kalimat apa yang harus dia ucapkan kepada calon istrinya itu untuk menjelaskan apa yang terjadi. Emily pasti tahu berita tentang video itu sebelum Sir Gerald berhasil membungkam media." Sekarang dia tertawa.
Lizzy jadi semakin bingung. "Kenapa kau menertawakan Sir Gerald?"
"Tidak, tidak. Aku hanya sedang membayangkan akan seperti apa pertengkaran mereka nantinya," Ariana melanjutkan tawanya.
Baru kali ini Lizzy melihat atasannya tertawa puas layaknya iblis.
Menyadari keheranan Lizzy, Ariana menenangkan dirinya. Bahkan, sampai berdehem. "Kau tidak tahu apa yang bisa Emily lakukan bila ada wanita lain yang mendekati Gerald. Aku tidak ingin kau menjadi korban fitnah karena akan sangat sulit untuk meluruskannya. Dulu Emily pernah menjadi model untuk rancanganku. Persaingan antarmodel runway sangat ketat, sehingga Emily menggunakan cara curang agar dirinya menjadi sorotan utama di panggung."
Lizzy mencoba menerka-nerka cara curang seperti apa yang dilakukan oleh seorang Emily Foster. Berkaitan dengan urusan fitnah, mungkin Emily akan menciptakan gosip bahwa model saingannya tidur dengan panitia acara untuk bisa tampil di runway.
"Kurasa kau pernah dengar kasus Kristine Howard," kata Ariana.
Mata Lizzy membelalak. Ingatan tentang mantan supermodel senior yang karirnya harus kandas karena kasus narkoba dan penganiayaan, juga tentang perceraiannya dengan seorang CEO perusahaan besar, muncul dalam benak Lizzy. "Jadi benar ada dalang di balik kasusnya?"
"Semua yang dikatakan Kristine di persidangan adalah benar. Namun, tidak ada saksi yang mendukungnya. Apa kau tidak penasaran kenapa saksi-saksi dari pihak Kristine memilih mundur? Kabarnya, Emily membayar mereka agar tidak datang ke pengadilan."
"Bagaimana dengan mantan suami Kristine?" tanya Lizzy. Dirinya seolah sedang bergosip dengan seorang teman karib.
"Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Setelah memberi sejumlah uang kepada Kristine, keberadaannya tidak diketahui sampai sekarang."
"Oh, kasihan sekali Kristine," ujar Lizzy, ikut merasakan apa yang mantan supermodel itu alami.
Ariana mengangguk-angguk. "Tetapi kini Kristine sudah menjadi konsultan fashion di salah satu label kecil. Kurasa dia akan bangkit lagi," Ariana tersenyum.
Lizzy membayangkan akan seperti apa jika dia yang menjadi korban fitnah Emily. Entah bagaimana dia bisa melewati masa terpuruknya nanti. Mungkin dirinya tidak akan tegar. Dia bahkan tidak berani menyambut cinta Sang Duke. Benar kata Ariana, lebih baik tidak sama sekali bila hanya akan menjadi bulan-bulanan Emily Foster.
Dering ponsel Ariana mengagetkan Lizzy dari lamunannya. Sang Empunya benda pintar itu segera menjawab panggilan setelah sebelumnya tersenyum. "Hey," sapanya mesra. Dia melirik Lizzy yang masih berada di ruangannya. Ekspresi gembiranya langsung sirna karena malu. "Excuse me?" sindirnya tajam. Dia menyuruh Lizzy keluar dengan mengarahkan kedua matanya ke pintu ruangan.
Lizzy mengerti, lalu berbalik untuk meninggalkan Ariana. Masih terdengar suara Ariana berbicara dengan Si Penelepon, "Oh, Robert, kau terlalu baik." Namun, tak digubris oleh Lizzy karena bukan urusannya.
Rasanya lega sekali karena Ariana tidak memarahi ataupun memecatnya. Dia berkali-kali mengucap syukur di dalam hati. Notifikasi pesan dari Greg muncul ketika dia duduk di kursi kerjanya. Pesan itu berbunyi, "Aku punya kejutan untukmu."
🍟🍟🍟🍟🍟
To be continued!
Hai semua! Aku berhasil update sebelum mencapai 30 hari sejak update terakhir wkwkwk~ senangnya hatiku 🤣🤣🤣
Tadi siang aku ngedit sambil jaga anak nihh..mudah2an ceritanya gak ngecewain kalian hehehe..
Selamat membaca! 🥳
240624
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duke And I
RomanceLizzy Scott diterima bekerja di perusahaan fashion yang diidamkannya selama masa kuliah. Sebagai asisten pribadi Ariana Langdon, desainer pakaian terkenal dunia, dia sangat senang bekerja di bawah Ariana langsung karena bisa belajar lebih banyak men...