Chapter 7

678 33 0
                                    

Sepasang pria dan wanita memasuki terowongan drive-thru sebuah coffee shop. Sang pria memesan kopi hitam tanpa gula, sedangkan si wanita memesan latté. Setelah mendapatkan gelas masing-masing, mereka pun beranjak dari sana.

"Sekarang aku butuh penjelasanmu," ujar Emily di samping Gerald, lalu menyerutup kopinya.

"Tentang apa?" tanya Gerald santai sambil menyetir mobilnya. Pria itu tidak tahu jalan di sana, sehingga dia menggunakan aplikasi penunjuk jalan pada ponselnya.

"Semuanya!" pekik Emily. "Aku tak percaya kau meminta seorang amatiran untuk mendesainkan gaunku. Aku juga heran mengapa kau tidak pernah mau menjemputku di bandara," cerocosnya. Memang benar kata Emily. Gerald tak pernah mau menjemputnya ketika dia baru pulang dari Paris, Roma atau negara-negara lainnya. Padahal, sebagai sepasang kekasih, Emily sangat merindukan Gerald dan berharap dapat melihat wajah pria pujaannya begitu sampai di kampung halaman. Emily pun memajukan bibirnya. "Kau tahu aku pergi untuk bekerja, kan?"

"Bukan itu masalahnya, Em," jawab Gerald. "Aku sudah ada janji dengan teman-temanku hari ini, jadi aku tidak bisa menjemputmu."

"Tiap kali kau bilang begitu. Aku mengerti kau ke sini untuk liburan tapi aku tidak ingin mendengar alasan itu lagi, Gerald," kata Emily yang sudah lelah dengan alasan yang sama setiap kali Emily memiliki permintaan. "Lalu, soal gaunku? Apa penjelasanmu? Kau sudah janji dengan Lizzy?" sindirnya.

Gerald terkekeh. "Lizzy," ucapnya. Kedua matanya terus menatap jalan.

"Ya, Lizzy. Kenapa kau meminta dia yang membuatnya? Apa kau sudah gila? Apa kau tidak malu jika gaunku jelek? Entah apa yang akan ditulis wartawan nanti kalau mereka melihatku memakainya," Emily tak henti-hentinya menggerutu.

Hembusan napas Gerald mengawali penjelasannya. "Dengarkan aku, Em. Lizzy adalah lulusan terbaik universitas desain fashion di Philadelphia. Pakaian rancangannya pernah dikenakan oleh beberapa foto model pendatang baru dan dipuji banyak orang. Memang Lizzy belum punya nama seperti Ariana Langdon, tapi kupikir dia punya potensi bagus untuk menjadikan gaunmu terkesan lebih modern daripada sekedar gaun pesta topeng pada umumnya."

Emily merasa malu. Dia ingin tersenyum lebar karena ternyata Gerald memikirkan dirinya. "Well, I'm sorry," ucapnya pelan. Amarahnya reda seketika. Kopi yang diseruputnya bahkan terasa lebih manis daripada sebelumnya.

Sebagai seorang supermodel, Emily sering mengenakan pakaian karya desainer-desainer dunia, termasuk Ariana Langdon. Terang saja dia belum pernah mendengar nama Elizabeth Scott karena memang Lizzy masih baru sekali. Namun, Gerald yakin Lizzy memiliki bakat dan kemampuan lebih yang dapat membuat namanya mendunia.

Gerald menoleh pada Emily. "Dan Lizzy tidak akan menolak apapun yang Ariana minta," lanjutnya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Gerald membaca nama Elizabeth Scott di bagian atas layar. Senyuman miring menghiasi wajah tampannya. "Hello," sapanya setelah menekan tombol pada earbuds.

"Hello, Sir Gerald. Aku Lizzy dari kantor Ariana Langdon. Maaf mengganggu kegiatan Anda. Aku ingin menanyakan perihal gaun pesta untuk calon istri Anda. Apakah beliau masih tertarik untuk memesan dari kami?" tanya Lizzy, sengaja dibuat seformal mungkin agar terdengar profesional dan kaku.

"Ya, tentu saja. Emily akan menemuimu jam dua siang nanti di kantor. Tak perlu khawatir karena aku yang akan mengantarnya," sindir Gerald.

Lizzy terdiam selama sedetik sebelum melanjutkan perbincangan. "Baik, Sir. Terima kasih atas konfirmasinya. Have a good day, Sir." Sambungan telepon ditutup.

Gerald tak bisa berhenti tersenyum. Dia senang sekali bisa meledek Lizzy. Hal yang hampir tidak pernah dilakukannya terhadap Emily karena Emily akan marah besar bila diledek seperti itu.

🧀🧀🧀🧀🧀

Siang itu Lizzy makan dengan cepat karena tidak ingin melewatkan janjinya dengan Emily dan Gerald, pelanggan pertamanya di kantor Ariana Langdon. Rampung menyiapkan ruang khusus di area lobi, dia kembali memainkan pensilnya di atas kertas. Wanita bermata hijau itu menggambar lagi. Setelah bertemu dengan Emily tadi pagi, Lizzy jadi punya gambaran lebih detail mengenai karakter Emily dan gaun seperti apa yang mungkin Emily suka.

Ariana menyukai rancangan gaun klasik miliknya tapi Lizzy merasa belum cukup karena mengingat Emily sangat high-class. Apalagi supermodel itu merupakan calon istri seorang Duke.

Apa boleh seorang Duke menikah dengan supermodel?

Pertanyaan itu sempat terpikirkan oleh Lizzy, tetapi buru-buru dienyahkan. Dia tidak mau konsentrasinya terganggu oleh pikiran tidak penting dan bukan urusannya.

Supermodel seperti Emily tentu lebih baik daripada orang biasa sepertinya.

"Stop it, Lizzy!" bisiknya sembari memukul kepalanya sendiri. Sejak kapan dia membandingkan dirinya dengan orang lain? Suara setan di kepalanya tak juga berhenti menghina sampai ponselnya bergetar karena Sarah, si resepsionis, menelepon. "Ya, Sarah?"

"Sir Gerald dan Miss Emily sudah datang," kata Sarah.

"Okay, aku akan keluar." Tak sulit bagi Lizzy untuk menemukan Gerald karena para pria berjas hitam selalu berjaga di sekitarnya. "Hello, Sir Gerald and Miss Emily. Senang bertemu kalian lagi. Silakan ikut aku," ucapnya ramah.

Emily sudah berganti baju menjadi lebih modis lagi dengan blazer di atas lutut dan boots tingginya. Gerald sendiri mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang hitam. Lengan kemejanya digulung sampai ke siku, menampakkan lengan bawahnya yang kekar.

Lizzy mengutuk pikirannya sendiri karena memuji penampilan Gerald dan kembali membandingkan dirinya dengan Emily.

Mereka bertiga masuk ke ruang khusus VVIP dan duduk berseberangan. Emily mengaitkan tangannya di lengan kekar Gerald.

Berhenti menyebutnya "kekar", batin Lizzy.

"Pertama-tama, aku ingin meminta maaf atas sikapku tadi pagi. Bukan maksudku untuk menghinamu, Lizzy. Aku percaya kau akan membuatkanku gaun yang bagus," kata Emily tak ingin melewatkan kesempatan minta maaf. Ekspresi wajahnya terlihat tulus dengan kedua alisnya yang turun.

"Tidak perlu dipikirkan, Miss. Aku akan berusaha sebaik-baiknya," balas Lizzy. "Boleh kita mulai?"

"Tentu saja!" seru Emily yang sudah tidak sabar ingin melihat desain-desain Lizzy.

"Akan kubiarkan kalian para wanita berdiskusi," kata Gerald, melepaskan cengkeraman Emily dari lengannya. "Aku akan kembali dalam waktu dua jam." Pria tampan itu mengedipkan mata kepada Emily yang dibalas dengan senyuman lebar. Pria itu menutup pintu tebal ruang VVIP, meninggalkan kekasihnya dengan Lizzy.

Emily menatap Lizzy dan seketika air mukanya berubah. Yang tadinya penuh kebahagiaan, sekarang sorot matanya seolah mampu membunuh Lizzy. "Hey!" serunya.

Pundak Lizzy melonjak karena terkejut. Dia bertanya-tanya, ada apa dengan Emily.

"Kau menyukai Gerald?" tembak Emily. Nada bicaranya tipis namun tajam.

"Excuse me, Miss?" tanya Lizzy agar yakin dengan pendengarannya. Belum pernah ada dalam pikiran Lizzy untuk menyukai Gerald.

"Aku melihat caramu memperhatikan Gerald, seakan-akan kau siap menerkamnya," kata Emily curiga.

"Tentu saja tidak, Miss," Lizzy terheran-heran. Dari mana Emily mendapatkan kesimpulan seperti itu? Gerald memang menarik, tetapi menyukai pacar orang lain tidak ada di dalam kamus hidup Lizzy.

"Kuperingatkan kau!" Emily menunjuk Lizzy. "Gerald is mine! Tidak ada seorang pun yang berani menantangku!" Emosinya meledak-ledak. Beruntung ruang VVIP kedap suara. Jika tidak, semua orang di lobi akan mendengarnya.

Lizzy bingung harus berkata apa. Sungguh, dia tidak menyukai Gerald. Malah pria itu berkesan buruk bagi Lizzy. Tapi tentu Lizzy tidak berani mengungkapkan hal itu. "Tak perlu khawatir, Miss. Aku sudah punya pacar," ujarnya berbohong supaya cepat selesai.

"Hmm..." Emily bersandar di sandaran kursinya. "Baiklah kalau begitu," katanya.

"Boleh saya menunjukkan desain-desain gaunnya sekarang?" tanya Lizzy mengalihkan topik dan dibalas Emily hanya dengan anggukan.

🍥🍥🍥🍥🍥

To be continued!

0612223

The Duke And ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang