Greg meminta Lizzy menunggunya setelah jam kerja, tapi ternyata Greg-lah yang harus bosan duduk di lobi. Sudah hampir dua jam dia memainkan ponsel, memperhatikan orang-orang berlalu-lalang, juga cara Sarah berkomunikasi dengan para tamu. Pria berkulit coklat itu akhirnya berdiri. Dia mengacak-acak rambutnya yang terasa tipis di bagian pucuk kepala.
"Tunggulah sebentar lagi, Greg," kata Jeremy yang masih setia dengan mobile game-nya. "Mati kau!" serunya kepada layar ponselnya sendiri.
Greg menoleh ke arah kekasihnya. "Bagaimana kalau dia memilih pergi karena terlalu lama menunggu?" tanyanya.
"Itu salahnya sendiri. Kita sudah bilang bahwa Lizzy tidak bisa bertemu malam ini, tetapi dia yang memaksa. Lagipula, kenapa kau menyetujuinya? Apa kau tidak kasihan kepada Lizzy jika nanti dia bekerja dengan terburu-buru?"
"Kau benar," ujar Greg yang kembali duduk di sebelah Jeremy. "Kau sedang main apa?" tanyanya ingin tahu.
Jeremy langsung bersemangat karena Greg nampak tertarik pada game yang sedang dia mainkan. Pria super tampan itu pun memperlihatkan ponselnya kepada Greg. "Coba lihat ini! Aku sedang bersembunyi di rumput. Dia tidak dapat melihatku. Sebentar lagi dia akan mati," Jeremy tertawa keras sekali begitu melancarkan serangan terhadap musuhnya. "One shot, one kill!" serunya.
Greg harus menjauhkan wajahnya dari Jeremy, lalu menggelengkan kepala. "Apa sebaiknya kita temani dulu orang itu, sementara menunggu Lizzy datang ke lokasi yang dijanjikan?"
"Boleh juga, tapi tunggu lima menit lagi. Aku sudah akan menang," ujar Jeremy tanpa melepaskan matanya dari layar ponsel.
Ariana baru saja turun untuk pulang. Desainer cantik itu membawa tas tangan Louis Vuitton seharga ribuan dolar Amerika, cocok sekali dengan setelan blazer berwarna soft beige yang dikenakannya. Langkah penuh percaya dirinya membelah lobi yang mulai sepi.
"Lihat itu!" seru Greg, membuat Jeremy menoleh karena kaget. "Ariana sudah turun."
"Nampaknya kita memang harus menunggu Lizzy sebentar lagi," kata Jeremy seraya tersenyum puas karena berhasil membuat Greg menunggunya menyelesaikan permainan.
Greg hanya memutar bola mata. Baginya, Jeremy terlihat seperti anak kecil yang sedang diberi tahu oleh orangtuanya bahwa waktu main telah usai. Karena itu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku celana, lalu menekan beberapa icon. Pria gay tersebut menempelkan speaker ke telinganya dan mendengarkan nada sambung pada ponselnya. "Halo, Lizzy. Kalau kau tidak mau kejutanmu terlewatkan, cepatlah turun ke lobi!" perintahnya geregetan. "Ya. Kita akan ke bar untuk minum. Jangan banyak bertanya lagi!" Sambungan telepon dihentikan oleh Greg. Matanya kembali pada Jeremy yang sudah selesai main game. "Menang?" tanyanya.
"Tentu saja," jawab Jeremy bangga. "Kau bisa menebak siapa MVP-nya."
Greg menghela napas.
"Oh come on, honey. Bermain game sangat berguna."
"Apa gunanya?" tanya Greg sinis.
"Game membuatmu melupakan masalah untuk sejenak, juga akan membuatmu kreatif."
"Jadi kau pikir aku tidak kreatif?"
Jeremy tertawa. "Bukan begitu, sayang." Pria berwajah tampan sempurna itu terus membujuk Greg agar mau menerima dirinya yang merupakan gamer sejati. "Jika ahli psikologi lain bermain instrumen musik untuk mengalihkan stres, maka aku memilih game. Tak ada yang salah dengan mereka dan aku."
"Sudah. Simpan saja alasanmu! Lizzy sudah datang," ujar Greg tanpa mempedulikan argumen Jeremy karena ada yang lebih penting. Pria berdarah latin itu berdiri menyambut Lizzy yang telah dianggapnya teman dekat karena sama-sama merupakan perantau. "Kau lama sekali," semburnya di depan wajah Lizzy.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duke And I
RomanceLizzy Scott diterima bekerja di perusahaan fashion yang diidamkannya selama masa kuliah. Sebagai asisten pribadi Ariana Langdon, desainer pakaian terkenal dunia, dia sangat senang bekerja di bawah Ariana langsung karena bisa belajar lebih banyak men...