Chapter 2

1K 43 2
                                    

Lizzy membereskan barang-barang yang dia bawa, lalu mengikuti Ariana ke lantai 10, tempatnya nanti menghabiskan hari, bekerja di perusahaan itu.

Ariana berhenti melangkah begitu sampai di ujung lorong. "Itu mejamu dan itu kantorku," tunjuk Ariana ke arah sebuah meja kantor kecil yang berada di depan ruang kaca yang di pintunya bertuliskan nama Ariana Langdon. "Kau bisa bertanya pada Greg untuk tugas-tugasmu besok, tapi untuk hari ini, aku ucapkan selamat bergabung dengan kami." Ariana tersenyum kepada Lizzy. Aura menyeramkan yang tadi Ariana perlihatkan di Ruang Terapi hilang seketika, digantikan oleh aura malaikat baik dan bersahabat.

"Terima kasih, Ariana. Bekerja denganmu adalah impianku sejak kul..."

"Sudah, tidak usah basa-basi!" potong Ariana. Glek! Lizzy menelan ludahnya lagi. Dia sedikit bingung dengan karakter Ariana yang dapat berubah sewaktu-waktu. Namun, Lizzy akan ingat bahwa Ariana tidak suka bertele-tele. Hal itu terbukti dari kemarahannya saat Gregorio tergagap di Ruang Terapi tadi.

"Kalau aku boleh pergi," lanjut Ariana, lalu segera masuk ke dalam kantornya.

Lizzy memperhatikan gerak-gerik bosnya. Cara wanita anggun itu melepaskan blazer dan menyampirkannya di sandaran kursi, caranya meletakkan bokongnya di dudukan dan menyandarkan punggungnya, caranya membuka map dan memperhatikannya satu persatu. "Oh! Aku lupa memperlihatkan potfolio-ku," ucap Lizzy tiba-tiba. Dia pun berbalik dan berjalan menuju lift untuk turun ke lantai 8. Gadis muda berusia 23 tahun itu mendorong pintu Ruang Terapi yang sedikit terbuka.

Terlihat Gregorio sedang duduk di sofa. Di sebelahnya ada Jeremy.

Lizzy tersentak ketika kedua pria itu menoleh padanya. "Maaf, kuharap aku tidak mengganggu," katanya. Greg menggeleng. "Tentu tidak. Silakan masuk," ujarnya sambil memperlihatkan senyuman yang tidak selebar sebelumnya. "Duduk di sini," dia menunjuk sofa di sebelahnya.

Lizzy masuk dan menuruti arahan Greg, sehingga pria botak itu berposisi di tengah. Sungguh Lizzy merasa tidak enak. Wanita bermata hijau itu seharusnya mengisi lowongan di Divisi Promosi. Tiba-tiba, dia ditunjuk untuk menggantikan posisi Greg sebagai Asisten Pribadi Ariana Langdon. Namun, perintah adalah perintah. Dengan ragu-ragu, dia berkata, "Aku datang untuk bertanya soal..."

"Yes. Ariana pasti memintamu menanyakan tugas-tugas yang harus kau kerjakan mulai besok. Waktu itu dia juga menyuruhku demikian kepada Adrian."

"Adrian?"

"Ya. Asisten Ariana sebelum aku beberapa minggu yang lalu."

"Beberapa minggu?" Lizzy terkejut. Dia tak menyangka Greg bekerja sebagai asisten Ariana hanya dalam beberapa minggu, karena Greg kelihatan tahu sekali soal kebiasaan Ariana.

"Jangan tanya," celetuk Jeremy. Pria tampan itu mendengkus. "Sejak meninggalnya Connie secara mendadak, Ariana selalu berganti asisten. Nampaknya dia belum menemukan orang yang pas untuk menggantikan Connie."

"Apa penyebab Connie meninggal?" Mau tak mau Lizzy bertanya karena gadis itu perlu mengetahui semuanya yang ada di tempat kerjanya.

Jeremy terkekeh. "Kau tak perlu takut, Lizzy. Connie memang sudah tua. Dia terkena serangan jantung. Jasadnya ditemukan tak bernyawa di kamar mandi rumahnya."

"Oh." Lizzy bisa bernapas lega. Dia ingat kejadian beberapa tahun lalu, saat sopir tetangganya meninggal karena serangan jantung di saat jam kerja. Sopir itu memang rajin dan tidak pernah menolak perintah bos. Ibu Lizzy, Maggie, mendengar gosip dari para tetangga bahwa Sang Sopir disuruh mengangkut buku-buku hasil cetakan yang jumlahnya ratusan jilid. Sopir itu terlalu lelah, sehingga jantungnya tiba-tiba sakit, dan langsung meninggal di tempat. Tentu Lizzy tidak mau mengalami hal yang sama.

Gregorio ikhlas menginformasikan tugas-tugas sebagai Asisten Ariana Langdon tanpa sedikit pun terlewatkan. Pria berdarah latin itu memang sangat pintar. Dia sudah tahu segala sesuatu yang diinginkan oleh Ariana sebagai seorang bos padahal dirinya baru bekerja di sana dua minggu yang lalu.

Ariana adalah orang yang gila kerja. Asistennya dituntut untuk bekerja sesuai yang dia inginkan. Jika Ariana belum pulang, maka Lizzy tidak boleh pulang. Setiap pagi, Lizzy harus membuatkan secangkir kopi hitam tanpa gula dengan mesin kopi di ruangan Ariana. Beliau tidak suka kopi yang terlalu panas karena dia harus segera meminumnya sesaat setelah sampai di kantor.

"Ariana sangat kuat begadang, sehingga dia selalu mengantuk. Untuk menjaga dirinya tetap fresh, dia butuh kopi," Jeremy menambahkan.

"Wow! Ternyata benar, orang-orang sukses tidak tidur delapan jam setiap hari," kata Lizzy.

Jeremy tergelak. "Aku tidak menganjurkanmu untuk meniru Ariana. Itu sangat tidak baik bagi kesehatan," dia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Senyuman Jeremy memang menawan. Sebagai seorang dokter, Jeremy mengingatkan Lizzy agar beristirahat cukup dan teratur, serta menjauhi stres.

Tetapi, apakah bisa tidak stres jika bekerja seperti itu?

"Ya. Aku bahkan pernah ikut begadang di kantor sampai harus membatalkan janji makan malam bersama ibuku," imbuh Greg.

Tawa Jeremy meledak. "Aku ingat kejadian itu! Kau ketiduran di kantor dan aku mengantarmu pulang keesokan paginya lantaran kau harus kembali ke sini dalam waktu dua jam saja."

"Ya. Untuk pulang dan kembali lagi dengan kereta memakan waktu dua kali lipat daripada diantar dengan mobilmu, Jeremy. Kau seperti seorang pahlawan saat itu," Greg terkekeh.

Jeremy terlihat malu-malu tapi menutupi sikap manisnya itu dengan membuang muka.

"Jujur saja, aku merasa lega setelah posisiku ditukar denganmu, Lizzy. Bukannya aku ingin menakutimu, tapi bekerja sebagai asisten Ariana sangat melelahkan. Itu yang kurasakan selama ini," ungkap Greg.

Jeremy menepuk-nepuk pundak Greg, lalu meremas-remasnya seperti sedang memijat.

"Kau akan dituntut siap selama duapuluh empat jam. Awalnya kupikir aku sangat menginginkan pekerjaan ini. Siapa yang tak ingin bekerja pada Ariana? Apalagi sebagai asisten pribadinya. Tetapi karena itulah aku sering berkunjung ke Ruang Terapi ini untuk berkonsultasi dengan Jeremy," cerita Greg.

Jeremy mengangguk. "Aku adalah terapismu di dalam dan luar ruangan, babe," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Shut up," Greg tertawa mendengar candaan Jeremy. "Omong-omong, aku mendengar gosip bahwa Ariana sedang jatuh cinta. Apa itu benar?" tanyanya.

"Oh, ya? Aku yang adiknya saja tidak tahu apa-apa," Jeremy tertawa. "Siapa orangnya?"

"Aku belum mendapatkan informasi soal itu, tapi katanya pria itu cukup sepadan dengan Ariana."

"Hmmm... Siapa ya..." Jeremy mencoba menerka-nerka pria seperti apa yang sedang digosipkan dengan Ariana. "Asalkan bukan pria gondrong dan bertato lagi," dia terbahak mengingat sosok mantan kekasih Ariana sebelumnya yang ternyata adalah seorang pecandu narkoba.

"Apalagi yang memakai tindikan di mana-mana," canda Greg.

"Aku heran. Wanita seusia Ariana seharusnya tahu cara memilih pasangan. Kenapa malah ingin seperti remaja?" Tawa Jeremy semakin besar. Namun, melihat Lizzy hanya tersenyum-senyum, pria itu merasa keterlaluan karena meledek kakak perempuannya sendiri. Maka dia pun berdehem. "Abaikan obrolan tadi."

"Pasti, Jeremy," Lizzy mengangguk-angguk seraya menaikkan kedua alisnya.

🍓🍓🍓🍓🍓

To be continued

201023

The Duke And ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang