Bangsawan tampan yang satu ini memang cukup gigih, atau bisa dikatakan keras kepala, dalam hal menginginkan sesuatu. Entah karena terbiasa terpenuhi segala keinginannya atau karena dia memang hanya iseng dan menyebalkan.
Siapalah Lizzy sampai diminta menentukan menu sarapan pagi bagi seorang darah biru. Kenapa Gerald tidak bertanya kepada pelayan hotel ini saja? Kenapa juga bukan bertanya kepada bodyguard-nya? Atau kenapa tidak minta Emily yang melakukannya?
"Excuse me, Sir?" tanya Lizzy agar yakin dengan pendengarannya.
Gerald menatap Lizzy. "Apapun yang kau pilih, aku akan makan," katanya seraya mengangguk-angguk. Dia memberikan buku menu kepada Lizzy.
"Tapi, Sir, aku tidak tahu seleramu," Lizzy mencoba menolak secara halus.
"Aku pemakan segalanya. Kau boleh bertanya padanya," Gerald menunjuk bodyguard yang tadi mengantar Lizzy ke restoran itu dengan ibu jarinya.
Lizzy menautkan alisnya, terheran-heran pada pria tampan di hadapannya itu.
"Well, come on, Elizabeth. I'm starving," ujar Gerald sambil mengelus-elus perutnya yang rata. Senyum jahilnya muncul, menampilkan lesung pipi yang menambah tingkat ketampanannya menjadi duaratus persen.
Helaan napas Lizzy mengartikan kesabarannya yang mulai menipis. Namun, dia mengambil buku menu yang disodorkan Gerald. Dia mengamati daftar makanan dan minuman itu, mencerna isi dari setiap menunya, juga mengira-ngira apa yang disukai oleh Gerald, yang juga menyehatkan.
Seorang bangsawan sudah seharusnya menjaga kesehatan. Di rumahnya, di London, Gerald memiliki seorang koki dan ahli gizi yang membuatkan makanan dan minuman sehat bagi Gerald. Tetapi sekarang dia sedang berada di New York. Tak ada yang tahu makanan seperti apa yang biasa dikonsumsi oleh seorang Duke.
"Bagaimana dengan yang ini, Sir?" tanya Lizzy, meminta persetujuan Gerald. Wanita itu menunjuk tulisan Smoked Salmon Benedict yang merupakan menu spesial Atrio.
Tanpa membaca keterangan dari menu itu, Gerald langsung mengangguk. Dia memanggil pelayan. "Kami pesan ini," katanya.
Kami? Lizzy bertanya-tanya sendiri dalam hati. Mungkinkah Gerald juga memesankan makanan untuknya? Ataukah yang dimaksud dengan "kami" di sini adalah karena mereka duduk semeja? Inginnya dia menolak, tapi tentu akan mempermalukan dirinya bila ternyata Gerald memang tidak berbaik hati membelikan makanan hotel untuknya.
Gerald beralih kepada Lizzy kembali setelah pelayan restoran pergi. "Selagi menunggu, boleh aku lihat desainmu?" tanyanya.
"Ya, tentu," Lizzy mengeluarkan tabletnya dari dalam tas, kemudian menunjukkan sebuah gambar desain baju pesta topeng pria kepada Gerald. "Miss Emily memilih warna biru navy, jadi aku membuatkan pasangannya dengan warna yang sama," katanya.
Anggukan Gerald menandakan dia mengerti. Pria dengan ketampanan maksimal itu menggeser layar tablet sembari memperhatikan model-model pakaian yang menjadi pilihan baginya.
"Apakah Anda suka, Sir? Kurasa yang itu cocok denganmu," Lizzy tersenyum. Rasa antusias mulai muncul di dalam dirinya ketika berbicara soal fashion. Apalagi customer-nya adalah seorang duke. Keinginannya untuk mendandani Gerald sangatlah tinggi.
"Ini?" Kening Gerald mengernyit. Kedua matanya memperhatikan gambar setelan jas pada layar tablet itu secara detil. "Aku suka yang ini. Akan tetapi, bukankah blazer-nya terlalu berlebihan?"
Lizzy terkekeh. "Kupikir Anda adalah seorang duke, jadi Anda memang harus tampil menyolok," katanya.
Mendengar perkataan Lizzy, Gerald jadi meliriknya. "Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian hanya karena berpakaian seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duke And I
RomanceLizzy Scott diterima bekerja di perusahaan fashion yang diidamkannya selama masa kuliah. Sebagai asisten pribadi Ariana Langdon, desainer pakaian terkenal dunia, dia sangat senang bekerja di bawah Ariana langsung karena bisa belajar lebih banyak men...