Akhirnya perlombaan pun berlangsung. Kini, giliran Audy yang tampil. Ia berjalan dengan anggun. Tampak agak terbalik dengan karakternya di sekolah yang cukup bar-bar. Bukankah sudah cukup terlihat dari ancamannya pada Arjun saat hendak mendobrak pintu kamar hotelnya?
Audy kini justru terlihat sangat anggun saat memainkan nada lewat tuts pianonya. Semua orang yang ada disana terlihat menikmati penampilan Audy dengan baik.
Saat itu pun Arjun kembali, ya, sedikit terlambat tuk memberikan gadis manis itu penyegar dahaga terlebih dahulu sebelum tampil. Bagus. Terima kasih untuk Gilang yang membuang waktunya dengan membuat perkara tidak penting.
Kini mata Arjun tertuju pada Audy. Jujur, ia tak begitu mengenal Audy sebelumnya. Ia hanya tak sengaja beberapa kali bertemu dengan gadis itu di ruang musik sekolah. Ruangan itu memang difungsikan untuk anak-anak ekskul paduan suara, namun jika sudah meminta ijin pada ketua ekskul padus sebelumnya, ruangan itu boleh digunakan oleh siswa lain juga.
Audy cukup pendiam, bahkan setelah beberapa kesempatan mereka berlatih bersama, Audy juga tetap tak banyak berinteraksi dengannya. Gadis yang dari tampangnya galak dan masuk kriteria 'kurang menyenangkan' itu, kini di mata Arjun bisa terlihat anggun dan menawan juga. Arjun tersenyum tipis saat ia mengingat betapa bar-bar nya gadis itu hendak mendobrak pintu kamar hotelnya.
"Jreng!" Arjun mengerjap. Ia terdiam sejenak. Apa itu? Suara pianonya, crack?
Apa yang terjadi?
Di depan sana, tampak raut wajah Audy menegang. Ia melakukan kesalahan. Tiba-tiba, meski ingin tetap melanjutkan nada berikutnya, tangan Audy seakan tak bisa bergerak barang seinci pun. Ia hanya mematung.
Bagaimana mungkin?
Kenapa?
Kenapa ini bisa terjadi padanya?Isi kepala Audy mendadak blank. Semua sorot mata yang menatapnya hanya bagai samar. Audy meneguk salivanya berat. Ini tidak benar! Ia melakukan kesalahan yang fatal. Setelah semua latihan dan kerja kerasnya, ia ... Ia tak mungkin sebodoh ini!
Lalu, tanpa diduga, atensinya langsung mengarah pada seseorang yang mengulurkan tangan padanya. Audy menengok dengan ragu. Matanya kini berisi sendu dan kekesalan terhadap dirinya sendiri. Namun, sosok itu hanya tersenyum. Berkata dengan lemah lembut padanya.
"Ayo. Tuan putri sudah berusaha dengan baik. Gapapa, ok!"
Audy tersenyum getir, menyambut uluran tangan sosok pemuda jangkung di hadapannya. Ia turun dari atas podium dengan gugup. Ia menggigit bibir dalamnya dengan cemas. Lalu, entah kenapa genggaman di tangannya terasa lebih erat dan hangat. Ia menengok sekali lagi pada pemuda itu. Pemuda itu hanya membalasnya dengan senyum paling menenangkan di dunia.
Arjun membawa Audy ke ruang tunggu peserta yang berada di bagian belakang paling ujung gedung tersebut. Segera setelah mengantar Audy duduk, Arjun mengambilkan
minuman yang tadinya sempat ia bawa sesaat sebelum Audy tampil."Nih, tadi lo keburu tampil, ada meja kosong deket kursi para peserta, gue taruh situ, deh. Hehe. Males balikin. Mau taro di bawah kursi takutnya kesenggol."
Audy mengerjap lalu mengambil minuman yang Arjun berikan. Ia menyeruputnya sedikit, lalu terdiam. Arjun yang menyadari hal itu lalu melepas tuxedo miliknya.
"You're great. No matter what happen at there. Just let it go. I'll win this, for you! Ok!"
For you...
Rasanya sangat aneh tapi melegakan. Terasa seperti kehangatan menyelimuti hati Audy. Ia menatap Arjun. Seiring dengan tatapan mereka yang beradu. Arjun tersenyum dan menyampirkan tuxedo itu ke tubuh Audy.
"For what?"
Audy mungkin saja mengharapkan balasan yang sama manisnya seperti tadi. Sungguh, rasanya ingin jungkir balik jika itu benar-benar terjadi.
Tapi, Arjun tetaplah seorang pengabdi Sasha yang sejati dan manusia membingungkan. Kadang bisa semanis anak kucing dan kadang hanya ingin kau pukul tepat di atas ring.
"Gerah, njir. Pake aja. Sorry. Pasti bau keringet. Kemaren abis gladi resik gak gue cuci. Nitip, ya. Bye. Abis ini gue tampil."
Arjun pun berlalu.
Audy hanya bisa dibuat melongo dengan ucapan Arjun.
"Kampret, lu ngasih gue baju kotor, lu kata gue laundry apa? Ish!" Audy sebal dan melempar tuxedo itu ke lantai.
Namun, seketika matanya menatap lebih jelas detail tuxedo milik Arjun.
"Astaghfirullah, ini tuxedo 3.450 dollar. Bisa bayar SPP gue di Legantara selama sepuluh bulan. Ya ampun, jangan sampe lecet!" Audy meringis saat mengambil tuxedo itu kembali dari lantai dan mengecek seluruh bagian. Syukurlah. Dia selamat.
***
Arjun pun kembali ke tempat duduk nya. Kini, matanya menangkap sosok Gilang yang dengan lihai memainkan tuts piano. Ia memang mengakui kemampuan yang Gilang miliki sepadan untuk menjadi pesaingnya. Andai saja manusia satu itu tidak bersikap rese dan menyebalkan. Maka, Arjun dengan senang hati akan menjadikannya kawan. Namun, apa daya? Pemuda bermulut boncabe itu memang tak ada duanya jika sudah nyinyir atau merendahkannya. Bahkan lebih sadis dari mulut-mulut siswa Legantara yang meremehkannya.
Ditambah dengan perlakuan Gilang selama SD kepadanya. Ia yakin, jika saja kisah pembulian sekolah dasarnya diangkat ke Netflix, itu akan cukup bagus untuk menyaingi serial drama 'The Glory'. Karena, ya, Gilang memang sangat gila. Sejak masih anak-anak.
Luka di belakang kepalanya adalah saksi bisu untuk itu. Peristiwa yang membuat dia semakin sulit fokus pada pelajaran. Beruntung ia masih memiliki kelebihan dalam musik. Nasib baik baginya, itu tetap membuat ia bisa lebih unggul dari Gilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARJUN
Teen Fiction|| Genre : Teenfic, Persahabatan, Keluarga, Romance || Apa yang terjadi ketika seorang cewek jutek dan keras kepala didekati cowok Kpopers yang berhati lembut dan murah senyum? Sasha Putri Andriana bertekad untuk fokus dengan kecintaannya pada bela...