[EMMA]
LUTHFI MEMANG DIKENAL bandel, langganan masuk BP, dan memperlakukan warung samping sekolah sebagai kelas kedua, tapi anehnya ia selalu datang paling pagi. Padahal rumahnya jauh. Biasanya, saat aku tiba di sekolah, aku bisa menemukannya setengah tertidur di matras kecil yang memang sengaja ia letakkan di belakang kelas. Telinganya seringkali tersumbat headphone yang dihubungkan dengan Walkman miliknya. Pernah sekali aku bertanya kasetnya siapa yang ia dengarkan. Selera musik Luthfi kebanyakan hip-hop sejenis Tupac, Biggie, dan rapper-rapper lain yang lagu-lagunya tentang betapa kerasnya hidup sebagai gangster. Cocok, sih, sama Luthfi yang sekarang jadi ketua geng motor.
Tepat sengaja, begitu aku sengaja datang pagi hari ini, Luthfi tengah rebahan sambil membaca komik Slam Dunk. Tapi, bedanya, hari ini ada luka gores di sebelah kanan mulutnya.
"Buset, habis dikeroyok maneh?" tanyaku, menghampiri Luthfi dan menggangu ketenangannya.
"Kagak, anying. Luthfi dikeroyok kiamat dunia." Luthfi, mau nggak mau, menyudahi rebahan santainya dan duduk di atas matrasnya. "Biasa, lah, berantem."
"Hm." Aku sebenarnya penasaran, tapi tahu kalau Luthfi akan cerita panjang lebar tentang bagaimana hebat dirinya saat mengeroyoki anak sekolah sebelah yang macam-macam sama dia dan membuat kami batal membicarakan topik yang ingin kuangkat hari ini, aku nggak bertanya lebih lanjut.
"Sorry, yang kemarin," ia kemudian nyeletuk setelah beberapa detik kami terdiam.
Aku mengangguk. "Iya, nggak papa. Eh, tes kepribadian kamu kumaha (gimana)?" Gara-gara dikeluarin dari kelas waktu tes kepribadian kemarin, aku dan Luthfi pulang telat karena harus mengulang tes kepribadian kami.
Iya, kami remedial tes kepribadian.
"Masa aing disuruh masuk pertanian," komentarnya. Ia kemudian mengeluarkan gumpalan kertas—hasil tes kepribadiannya—yang sudah kucel dan mulai membacanya. "Anda cocok di karir yang berhubungan dengan agribisnis, seperti sektor pertanian, industri makanan, dan perkebunan. Intinya aing disuruh jadi kang jualan bunga, anying."
Aku tertawa kecil. "Eh, mau nanya," ucapku, agar topik pembicaraan yang mau kuangkat nggak jauh melenceng. "Kan kemarin sebelum si Chakra meninggal teh dia sempat minta maaf sama kamu gara-gara waktu itu kamu nggak sengaja bikin dia dikeroyok anak sekolah lain. Kamu diteken juga, kan, ya, kalau nggak salah. Yang soal si Chakra nyiletin motornya siapa lagi, aku lupa namanya? Terus kamu ngadu, jadinya Chakra marah?"
"Oh, Gilang anjing?" Di luar dugaanku, Luthfi ternyata nggak terdengar terlalu tertekan mendengarku membawa-bawa Chakra, meski aku tahu betul ia masih merasa kehilangan. "Aing tahu, anying, naha Chakra sampe marah pisan."
"Kenapa emang?"
"Gilang sama Chakra teh pernah berantem, terus Gilang sampai bawa-bawa orangtua. Tahu sendiri, kan, buat si Chakra orangtua teh topik sensitif?" Melihat Rara, salah satu teman sekelas kami, berjalan menuju kelas dari jendela yang menghadap ke koridor, Luthfi langsung menarik tanganku dan mengajakku ke belakang sekolah tempat kami berbincang-bincang dulu. "Nggak enak ngomongin ginian pas lagi rame," katanya.
Kali ini, Luthfi-lah yang jadi pemasok nikotin. Ia memberikanku sebatang Marlboro, yang kuterima dengan senang hati. "Tumben?" tanyaku sebelum menyelipkan batang rokok tersebut di sela-sela bibirku dan menyalakannya.
"Hari Senin, baru dikasih uang jajan sama Mami," cowok bermata sayu itu menjelaskan setelah menghisap rokoknya. "Jadi, intinya si Chakra sama Gilang waktu itu ketemuan di warung Bi Eem. Kalau nggak salah awal atau pertengahan Februari gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Chakra Masih di Sini
General Fiction[16+] semuanya lebih mudah sebelum dia pergi; Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...