15. | mimpi freudian dan nike ardilla

153 23 84
                                    


[ JEROEN ]

(s/o to dyorchestra, babaturan bandung aing m̶e̶s̶k̶i̶ ̶a̶k̶u̶ ̶u̶d̶a̶h̶ ̶8̶ ̶t̶a̶h̶u̶n̶ ̶n̶g̶g̶a̶k̶ ̶t̶i̶n̶g̶g̶a̶l̶ ̶d̶i̶ ̶s̶a̶n̶a̶ yang udah ngasih semangat banyak lewat komen-komenannya, meski kamu belum baca sampe sini ahaha.)

warning: if you're planning to read the little prince/le petit prince/pangeran kecil atau apa pun judulnya, di sini bakal dispoiler berat alurnya ahaha. sama bagian akhir bab banyak ngebahas kematian gitu, jadi yeah. 


LAYAKNYA CHAKRA YANG terobsesi dengan alam semesta, aku juga punya obsesiku sendiri. Seumur-umur, semenjak keluargaku membeli komputer pertama saat aku SD, aku selalu dibuat kagum oleh benda itu. Mesin ajaib yang awalnya digunakan untuk meng-input angka-angka itu bisa melakukan segalanya—mulai dari menulis, menghitung, hingga jadi sumber hiburan.

Awalnya aku memang cuma memakainya untuk main game kayak Minesweeper, Tetris, atau yang paling berat Doom. Itu pun harus gantian dengan anak tetangga, karena di antara mereka cuma aku yang punya komputer, dan Bapak yang pekerjaannya memang mengandalkan komputer. Kemudian muncul internet. Ternyata kamu bisa menghubungkan kabel teleponmu dengan komputer, dan seketika seluruh dunia ada di genggaman tanganmu.

Aku ingat, dulu Bapak sering memarahiku gara-gara terlalu banyak menghabiskan ongkos telepon rumah untuk men-download album Oasis secara ilegal dalam bentuk wav atau begadang membuat situs web sendiri di GeoCities[8]. Waktu aku selesai membuat situs web pertamaku di kelas 3 SMP, aku merasa kayak orang paling hebat sedunia. Pada akhirnya, Bapak memutuskan untuk mengajariku sedikit JavaScript. "Kowe punya bakat di sini, le," ucapnya waktu itu. "Nek diasah, kowe bisa jadi kayak Bill Gates, iki."

Sejak saat itu, aku mulai punya mimpi. Aku mau mengembangkan internet menjadi sesuatu yang lebih canggih, tapi di sisi lain lebih terjangkau. Mungkin, selain men-download lagu, internet bisa juga dipakai untuk download film. Makanya, saat Chakra bercerita tentang keinginannya merantau ke Bandung agar kami dapat kuliah di ITB, aku setuju.

Sekarang, aku sudah berada di depan pintu menuju tahap pertama mimpi itu. Duduk di depan mesin ajaib yang melahirkan mimpi pertamaku, menggunakan medium yang membuatku jatuh cinta untuk mencari orang-orang yang mimpinya sama denganku. Sayang banget Chakra nggak ada bersamaku saat ini. Jika seandainya kecelakaan tersebut nggak pernah terjadi, mungkin sekarang kami sama-sama berburu channel MIRC anak ITB.

Chakra bahkan nggak sempat ikut Ebtanas.

Emma, omong-omong, masih belum membalas pesanku.

Tadi malam, saat aku tengah tidur, aku merasakan guncangan di tubuhku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tadi malam, saat aku tengah tidur, aku merasakan guncangan di tubuhku. Ketika aku membuka mata, aku mendapati Chakra duduk di ujung kasur, mengenakan jaket kulitnya seakan-akan ia mau pergi malam-malam kayak yang biasa ia lakukan. Saat itu, aku ingin benar-benar bangun dan memeluknya karena kangen, tapi aku memutuskan untuk nggak melakukannya karena—sekali lagi—aku nggak yakin kalau sosoknya nyata atau tidak. Matanya sembab dan wajahnya memerah. Jelas banget kalau anak itu mabuk.

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang