04 . | tentang seseorang bernama je-rone [edited]

533 83 80
                                    




[ EMMA ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ EMMA ]


SAAT ITU, AKU nggak punya pilihan lain selain menceritakan ke Jeroen tentang segala sesuatu yang terjadi di antara aku dan Chakra sebelum ia meninggal, tentang bagaimana dia mampir ke rumahku sebelum ia pergi lagi dan mati. Tentang dia yang tahu-tahu meminta maaf padaku dan mengajakku balikan. Aku sengaja nggak memberitahu cowok itu tentang ciuman kami. Kalau diingat-ingat saja rasanya sudah terlalu sakit—fakta kalau akulah cewek terakhir yang dicium Chakra. Aku, sosok yang paling ia cintai di dunia, meskipun aku nggak membalas perasaannya. 

Setelah menceritakan segalanya ke Jeroen, aku buru-buru menyesal. Aku nggak tahu apa yang membuat diriku tahu-tahu membuka diriku dengan sebegitu gamblangnya ke sosok yang selama ini selalu berjarak denganku. Mungkin karena kami berdua sama-sama remuk, sama-sama kehilangan. Ini, sejujurnya, adalah salah satu perasaan yang paling nggak kusukai—harus terlihat rapuh di depan orang lain.

Jeroen menghela napasnya. "Chakra sayang banget sama kamu," gumamnya pelan sambil mengelus-elus punggung tanganku, mengirimkan sensasi yang agak aneh ke seluruh tubuhku. Aku langsung mencabut tanganku dari genggamannya.

"I know." Dan kata-kata terakhirku ke Chakra malah begitu menyakitkannya. Di luar, hujan mulai reda, dan aku sedikit lega karenanya. Aku jelas nggak butuh lagi menghabiskan waktu lebih lama dengan bercakap-cakap canggung dengan cowok ini.

"Ah, udah reda, ya, hujannya," komentar Jeroen sambil bangkit berdiri dan meraih tanganku lagi. "Mau tak anter ke depan, nggak?"

"Nggak. Nggak usah."

Kemudian, meski aku sudah menolak tawarannya, Jeroen mengantarku ke jalan besar dan bahkan menemaniku menunggui angkot. Sambil menunggu, sesekali ia mencoba untuk berbasa-basi—kayak nanyain sekolah sekarang kayak gimana, sih, gimana kabarmu sekarang, kamu udah ada gambaran mau kuliah di mana, nggak?  yang kubalas seadanya.  "Ya, gitu deh." "Baik, kok." "Belum tahu, euy."

Keadaan sebenarnya, omong-omong, jelas lebih pelik dari itu. Namun tentu saja aku nggak memberitahukan hal yang sebenarnya pada Jeroen, karena ia pasti akan membombardirku dengan rentetan pertanyaan. Aku sama sekali nggak butuh campur tangan orang lain dalam urusan pribadiku.

Meski demikian, jawabanku yang hanya sepatah-dua patah kata itu rupanya nggak bikin Jeroen menyerah begitu saja. Bahkan sebelum aku naik angkot, ia tahu-tahu mencatat sesuatu di atas selembar uang lima ratusan miliknya sebelum menyerahkannya padaku. "Itu nomor HP aku," ia memberitahuku, meskipun aku sama sekali nggak meminta. "Kalo kamu ada apa-apa, uh, telepon aja, ya? Siapa tahu kita bisa saling curhat atau apa." Kemudian, seakan mau meyakinkanku, cowok itu menambahkan, "Aku ada, kok, buat kamu."

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang