JEROEN
(warning; sebagian bab ini agak nganu. kalau kamu masih di bawah umur, atau nggak nyaman baca gituan, part 2 dari bab ini bisa di-skip.)
EMMA PERGI, DAN segala sesuatu mulai masuk akal. Kenapa dari dulu Emma nggak menyambut usahaku untuk berteman dengannya dengan baik. Kenapa Chakra juga susah untuk berjuang merebut hati Emma, meski akhirnya Emma menerimanya. Juga menjelaskan kenapa Emma menerima Chakra meski ia sebenarnya nggak punya perasaan yang lebih dari teman. Menurut diary-nya, ia menjadikan Chakra pelarian karena ingin melupakanku.
Aku tahu, hidup Emma jauh dari ideal. Sejak pertama kali bertemu dengannya waktu ia menangis di toilet sekolah dulu, aku sudah menduga kalau Emma tipe yang menyembunyikan rasa sakitnya di balik luaran yang kuat. Agak mirip Chakra, bedanya saat Chakra sok bahagia, Emma sok tegar. Dugaanku ternyata benar. Mengingat kehidupan keluarganya kayak gimana, aku paham betul kenapa Emma takut jatuh cinta.
Emma takut jatuh cinta, karena ia takut disakiti. Begitu ia tahu aku baru saja putus dengan Sekar, insting fight or flight-nya seakan aktif, dan mungkin ia langsung takut begitu menyadari kalau kami akan berakhir sama kalau seandainya kami berakhir pacaran. Agak nggak mungkin, memang, tapi tetap saja.
Aku menghela napas, menatap jendela kamar Emma yang terlihat samar dari sela-sela pohon taman. Aku mulai bertanya-tanya kenapa aku ke sini. Alih-alih langsung kembali ke kosan, aku malah memilih untuk lewat rumah Emma. Sebenarnya aku bahkan nggak berniat ngobrol dengannya, tapi Emma karena suatu alasan memilih untuk turun dari kamarnya dan menyambutku. Waktu itu, aku cuma ingin melamun sebentar, membiarkan diriku larut dalam pikiranku yang bingung.
Seingatku, di Romeo and Juliet ada adegan di mana Romeo menyelinap di tengah pesta dan bertemu dengan Juliet di menara, di mana keduanya jatuh cinta. Tadi, aku berhenti di depan rumah Emma untuk mengajukan pertanyaan ke diriku sendiri, apakah aku memang benar-benar jatuh cinta pada Emma? Di antara aku dan Emma, penghalangannya bukan keluarga yang bermusuhan dan nggak menyetujui kami bersama. Penghalang kami untuk bisa bersama berasal dari diri mereka sendiri—Emma yang takut jatuh cinta, dan aku yang masih merasa perlu menjaga hati saudaraku sendiri. Mau bagaimana pun juga, kami nggak mungkin bisa bersama.
Bisa-bisanya aku mikir ginian. Buru-buru aku menggetok kepalaku. Belakangan ini aku dan Emma mulai agak dekat, dan karenanya Emma bersikap impulsif meski ia nggak bermaksud demikian. Tempo hari, kami cuma kecolongan. No big deal. Pokoknya di antara kami nggak boleh muncul rasa cinta.
Akhirnya, aku memutuskan pulang, berharap pikiran-pikiranku bisa hanyut di tengah-tengah keramaian jalanan Bandung jam tujuh malam.
Malam itu, tumben-tumbennya, aku tertidur setelah iseng menenggelamkan diriku di dalam buku paket Pengenalan Teknologi Informasi. Mungkin kompensasi gara-gara belakangan ini aku terlalu sering tidur pagi bangun pagi. Sayangnya, tidur nyenyakku nggak berlangsung lama. Aku baru terlelap sekitar dua jam saat tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara familier yang memanggilku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Chakra Masih di Sini
Tiểu Thuyết Chung[16+] semuanya lebih mudah sebelum dia pergi; Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...