[ JEROEN ]
TERNYATA, BENAR KATA teman-teman sekosku yang sudah pada kuliah atau kerja. Seusai SMU, kamu akan menghadapi kebosanan tiada tara dalam bentuk libur sampai tiga bulanan lebih sambil menunggu keluarnya hasil UMPTN. Cuma bisa menanti tanpa kepastian, berusaha mengesampingkan rasa deg-degan sembari menanti apakah kamu bisa masuk PTN favoritmu sambil main PlayStation dan mendengar 15 lagu yang sama di Ardan terus-menerus. Kadang-kadang, saat aku sudah merasa gila terkurung di kamar kos, aku mengajak teman-teman lama di sekolah untuk jalan, entah sekedar nongkrong di BIP tanpa membeli apa-apa, nonton konser di GOR Saparua, atau dugem. Tapi aku sama sekali nggak menyentuh alkohol. Fakta kalau Chakra meninggal dalam keadaan mabuk selalu terngiang-ngiang di benakku, dan karena itu aku takut.
Omong-omong tentang Chakra, menghabiskan terlalu banyak waktu di kamar membuatku mulai menggali dari lingkungan terdekatku—yakni kamar yang selama tiga tahun terakhir kami tinggali bersama. Sebelumnya, aku nggak pernah terlalu berpikir banyak memiliki kamar kami. Yang aku tahu, kamar kami hampir selalu berantakan gara-gara Chakra senang mencecerkan baju kotornya di mana-mana—"Belum kotor-kotor banget, ntar mau dipake lagi," ceunah—dan asal menaruh barang, meskipun aku selalu berusaha membereskan kamar kami setiap hari Minggu. Dalam rutinitas sehari-hari kami, aku lupa kalau kamar kami punya cerita.
Cerita tentang dua pemuda nekat yang merantau ke kota yang jaraknya lima ratus kilometer lebih demi keluar dari kehidupan monoton mereka, yang kemudian mengubah sebuah kamar kecil di lantai dua suatu rumah kos-kosan menjadi rumah kedua selama di kota asing ini. Tentang malam-malam yang dihabiskan saling menyikut satu sama lain di kasur lantaran gaya tidur kami yang berantakan, sehingga kadang-kadang salah satu harus menyerah dan tidur di lantai. Tentang kaset-kaset koleksi kami yang rata-rata sudah agak soak gara-gara keseringan diputar, saat aku dan Chakra sempat perang musik gara-gara selera kami yang berbeda—Chakra entah kenapa suka banget sama musik-musik cadas yang bikin orang frustrasi kalau mendengarnya, sementara kata Chakra musikku menye-menye. (Meski ujung-ujungnya kami tetap nyanyi bareng sampai suara kami habis dan Ibu Esih masuk ke dalam kamar untuk menyuruh kami tidur lantaran berisik.) Tentang percakapan tengah malam di antara kami saat kami tetap nggak bisa tidur, yang topiknya terkadang melantur dari hal-hal nggak penting kayak bola atau cantiknya Nadya Hutagalung, hingga bahasan-bahasan serius kayak Tuhan, orba, dan masa depan kami; kadang-kadang sambil diiringi gitar, seringkali ditemani gumpalan asap rokok yang mengepul di langit-langit kamar. Tentang kamar yang untuk sementara waktu sempat sunyi karena perselisihan kami menjelang akhir kelas tiga, meski pada akhirnya kami kembali berbaikan di hari ulang tahunku. Hari terakhir aku melihat Chakra.
Sambil berbaring telentang di atas kasur yang kini terasa lebih luas—namun lebih sepi—tanpa Chakra, aku memandang ke atas, ke arah poster Kurt Cobain dan Nike Ardilla yang dipajang berdampingan di atas kasur kami. Keduanya idola Chakra sejak SLTP, keduanya terkenal dikenal akan gelora jiwa muda yang terpancar dalam karya-karya mereka, keduanya meninggal secara tragis di usia yang terlalu dini. Persis Chakra.
Nggak. Pasti cuma kebetulan. Chakra nggak mungkin berniat mengikuti jejak kedua idolanya itu dengan cara mati muda. Tapi kemudian aku teringat kalau Nike Ardilla meninggal dalam kecelakaan di Jalan Riau—di sini, di Bandung. Nike adalah salah satu alasan kenapa Chakra memilih untuk merantau ke Bandung. Setahun sebelum kematian Nike, Kurt Cobain sudah lebih dulu mengambil nyawanya sendiri. Nggak. Nggak mungkin.
Semuanya terlalu mirip dengan apa yang terjadi pada Chakra.
Nggak. Chakra bukan tipe orang yang bunuh diri. Wong menurut hasil otopsi saja ia berkendara dalam keadaan mabuk. Orang mabuk nggak bisa berpikir jernih. Bisa jadi ia menabrak mobil di depannya karena murni nggak sengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Chakra Masih di Sini
General Fiction[16+] semuanya lebih mudah sebelum dia pergi; Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...