24 . | takdir memang tidak sejahat itu, tapi lebih jahat

50 4 2
                                    


[EMMA]


"TEH, SEBELUMNYA, MAAF ya kalau ganggu," ucap Indra, anak kelas 2 IPS 1 yang tahu-tahu mengajakku ke belakang sekolah. Yang, tentu saja, bikin aku kaget. Aku bahkan nggak begitu kenal Indra, di luar dia teman sekelasnya Jaka yang jadi Mas Romeo di drama sekolah nanti. "Tapi, aku udah lama suka sama Teteh."

Aku menatap Indra sebentar. Sebenarnya cowok itu nggak jelek-jelek amat. Tipe-tipe yang manis polos, malahan, dengan potongan rambut mangkok khas anak SD, lesung pipit di kedua pipinya, dan bola mata berkaca-kaca yang bahkan nggak berani menatapku langsung. Jauh banget dari cetakan begajulan-nya Luthfi atau Chakra.

Ini bukan pertama kalinya ada cowok yang blak-blakan mengakui perasaannya padaku. Mulai dari yang diam-diam, yang intim kayak Indra, atau yang frontal banget kayak Chakra. Waktu mengakui perasaannya padaku, ia sedang disetrap saat upacara lantaran minggu lalu berulah—ia dan teman-temannya ingin menggantung banner di balkon sekolah untuk menembakku, tapi gagal gara-gara ketahuan Ibu Kepsek. Untuk mempermalukannya, Ibu Kepsek menanyakan Chakra mau jadi apa dia kalau di sekolah bikin onar.

"Mau jadi pacarnya Emma, Bu!" teriaknya waktu itu, yang membuat seisi lapangan menatapku. Aku, yang seketika jadi pusat perhatian, rasanya ingin pura-pura sakit agar bisa kabur saja ke UKS.

Biasanya—terutama, sebelum Chakra—aku tahu bagaimana membalas pengakuan cinta.

"Sorry, ya. Aku lagi nggak pengin pacaran." Lalu, kalau mau lebih sadis: "Yang namanya pacaran itu harus saling kenal, kan? Ini aja aku sama kamu cuma tahu nama, lho."

Aku menatap Indra, yang malunya kelihatan banget. Karena kulitnya agak pucat, wajahnya otomatis memerah, bahkan telinganya juga Mirip—ah, sudahlah.

Saat itu, sebenarnya sempat terbersit di pikiranku untuk menerimanya, jika cuma untuk pengalihan isu dari masalahku dengan Jeroen. Tapi aku tahu betul apa yang terjadi terakhir kali aku menjadikan seseorang pelarian. Aku merusak persaudaraan, pertemananku dengan salah satu dari sedikit orang yang kupercayai di dunia ini, dan—mungkin—secara nggak langsung membunuh seseorang.

Melihat Indra yang sepertinya menahan tangis, aku buru-buru menepuk bahunya, menghiburnya. "Eh, jangan nangis." Ya Tuhan, malu-maluin banget. "Kalau mau, kita, eung... masih bisa temenan? Kan pelan-pelan." Lalu, aku meminta buku teleponnya dan menulis nomorku di sana. "Nih, nomor aku, kalau kapan-kapan mau ngobrol."

Indra mengangguk malu-malu, lalu menggumam, "nuhun, Teh," pelan. Begitu ia berbalik, teman-temannya, yang sedari tadi ngumpet di dalam salah satu ruang ekskul yang jendelanya menghadap belakang gedung sekolah. Ia disoraki, bahkan beberapa temannya—termasuk Jaka—langsung lompat dari jendela. Jaka menyelamatinya karena berhasil dapat nomornya Teh Emma, Winona Ryder-nya sekolah yang susah banget digapai. Yang lainnya malah mengejek. "Yah, kasihan, gagal maneh," ucap mereka.

"Garaneng sia (berisik kalian semua)!" teriak Indra, nggak tahan jadi bulan-bulanan teman-temannya. Jujur, aku agak kasihan. Cinta pertamanya pupus begitu saja. Gara-gara terlalu melindungi perasaan diri sendiri, aku jadi melukai perasaan orang lain.

Lalu aku membayangkan skenario alternatifnya; aku dan Indra jadian, dan Indra, sama kayak Chakra dulu, tertipu ilusi kalau aku mencintainya. Begitu ia tahu hal yang sebenarnya, ia akan remuk, dan kepercayaannya akan cinta akan hilang. Aku malah menyeret anak orang untuk menjadi sama terpuruknya denganku.

Emma goblok. Emma egois.

Lalu, di benakku muncul lagi skenario alternatif yang paling mengerikan, di mana aku membiarkan diriku lebur dalam cinta. Di mana aku dan Jeroen benar-benar menjadi pasangan selama SMU. Kami akan curi-curi waktu di sekolah untuk berduaan, entah untuk sekadar minta bantuan PR, ngobrol topik-topik yang menarik, atau bahkan lebih. Malam Minggu, ia menemaniku belanja buku di Palasari, bahkan membacakanku beberapa bait dari buku puisi yang baru kubeli. Agak malam dikit, dalam keadaan tipsy gara-gara sok ide ngoplos Jack D dengan Anggur Putih, kami berdansa di bawah hujan gerimis, lagu Like Someone In Love—entah versi aslinya Chet Baker, tapi versinya Björk juga boleh—mengiringi kami dari earphone yang terhubung ke Walkman-nya Jeroen. Lalu, lagu berhenti tiba-tiba, dan payung yang Jeroen pegang berhenti menaungiku. Aku ditinggal sendiri, basah kuyup di tengah jalan, sementara Jeroen memayungi cewek lain sembari mereka berjalan berdua menyusuri hujan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang