19. | kalkulus I

55 10 13
                                    


JEROEN

(s/o to tiwi yang rela ditanyain macem-macem soal seluk beluk per-itb-an oleh anak kampus gajah sebelah yang satu ini wkwkwkwk.)


EMMA BARU SAJA menciumku. Meski ciuman itu cuma berlangsung tiga detik dan Emma langsung kabur setelahnya, aku masih dapat merasakan bibirnya di atas bibirku sepanjang malam. Halus, lembut, dan terasa kayak jeruk, barangkali dari lip balm yang ia gunakan, dan—anehnya—campuran bumbu Indomie dan telur setengah matang. Kombinasi yang aneh, memang. Tapi, entah kenapa, begitu berkesan.

Dan dia bahkan bukan perempuan pertama yang kucium. Waktu aku bersama Sekar di Tangkuban Perahu, ciuman kami bahkan lebih ganas dari tadi. Aku ingat, Sekar bahkan iseng memainkan lidahnya, sesuatu yang nggak pernah kuduga dari perangainya yang kalem.

Sekalipun demikian, ciuman tiga detik dari Emma membuatku merasa jauh lebih hangat dari sentuhan apa pun yang bisa diberikan cewek lain—termasuk Sekar—padaku. Sesudah Emma pergi, jantungku masih berdebar-debar kencang, jauh lebih kencang daripada kapan pun aku bersama Sekar.

Aku langsung menghantam kepalaku di atas kasur. Nggak. Ini nggak boleh. Toh inilah yang membuatku dan Chakra bertengkar hebat dulu. Kalau aku sampai berani berpikir ke arah sana terhadap Emma, sama saja aku mengkhianati perdamaianku dengan Chakra sehari sebelum ia pergi. Selain itu, bahkan meski aku sudah legowo kalau cinta masa SMU kecil kemungkinannya bertahan lama, aku mengkhianati cinta pertamaku.

Kalau aku sampai jatuh cinta pada Emma—amit-amit—aku menyakiti dua orang dalam waktu bersamaan.

Sadar kalau mixtape Chakra untuk Emma—pemantik dari semua permasalahan tadi—masih berputar, aku mematikan stereo dan bergegas ke kamar mandi, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran yang mengganggu beserta dengan keringat dan daki yang menumpuk dari segala kegiatan ospek tadi. Tapi, bahkan setelah secara fisik aku bersih, pikiran mengenai Emma masih belum enyah dari benakku.

Bagaimana, selama tiga bulan terakhir, cuma dia yang bersedia mendengar semua keluh-kesahku, bagaimana dia bersedia menemaniku memecahkan misteri-misteri Chakra bahkan meski aku yakin aku lebih sering mengganggu. Caranya menceritakan ulang buku-buku yang ia suka. Suaranya yang agak berat untuk ukuran cewek, tapi mampu menenangkanku bahkan lewat telepon. Wangi parfumnya, yang sebenarnya sama kayak White Musk-nya Sekar, tapi berbeda saat tubuh Emma yang mengenakannya. Lebih lembut, kayak baju yang baru diambil dari laundry.

Malam itu aku merasa kayak pendaki gunung yang tertimpa salju longsor; tumpukan salju yang ada di atasku menimpaku serentak, mendorongku jatuh hingga aku tergencet di dasar gunung. Dan, layaknya pendaki gunung yang belum meninggal duluan setelah tergencet salju longsor, aku mencoba mencari pertolongan sebisaku: aku menelepon Sekar.

"Kar?"

"Je? Tumben nelepon?"

"Kangen," ucapku, meski aku nggak yakin apakah aku sungguh-sungguh kangen dengannya. "Apa kabar? Gimana ospeknya?"

"Ya, gitu, deh," jawab Sekar, yang tumbennya terdengar nggak tertarik untuk bercerita. "Capek, euy, bolak-balik Bandung-Nangor. Mana disuruh ini-itu, lagi, sama kating. Kating Unpad mah galak pisan, weh. Aku disuruh makan Indomie dikasih bumbu saus kacang gitu, tapi geuleuh pisan (geli banget). Nah, kating-kating teh pada ngakunya cacing." Kemudian, "Kamu gimana?"

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang