11. | chakra dan luthfi

237 46 22
                                    

[ JEROEN ]

JJUJUR, AKU AGAK kaget melihat ketua geng garang macam Luthfi, yang ke sekolah naik Honda Gelatik dan sering berantem dengan anak SMU sebelah, ternyata tinggal di antara hamparan bunga yang dijual orangtuanya. Aku sama sekali nggak menduga kalau setiap hari Luthfi dikelilingi bunga mawar, anggrek, dan bougainville.

"Assalamualaikum," ucap Emma sambil mengetuk daun pintu. Seorang wanita paruh baya berambut pendek, yang kuduga adalah ibunya Luthfi, menyambut kami.

"Wa'alaikumsalam," wanita tersebut membalas. "Temannya Luthfi? Mangga, atuh, masuk." Kemudian, ke arah ruang keluarga rumah, ia berteriak, "Aa, ieu aya babaturanana (Mas, sini ada temannya)!"

Kami mengangguk, meski kami berdua nggak terlalu dekat dengan Luthfi. Aku nggak tahu kenapa ibu tersebut tahu kalau kami mencari Luthfi—mungkin, karena memang kentara banget kalau kami seumuran dengannya. Meskipun Luthfi salah satu teman terdekat Chakra, aku sendiri nggak pernah terlalu dekat dengan Luthfi semasa sekolah dulu. Mungkin karena kami beda angkatan. Makanya, aku setengah berekspektasi kalau Luthfi akan bingung melihat keberadaan kami di rumahnya.

"Duduk, atuh," perintah ibu Luthfi, dan kami menurut. "Kalian mau sirup, nggak? Tante bikinin."

Setelah terduduk di ruang keluarga, aku dan Emma dapat mendengar Luthfi mengumpat, "ANJING!" dari ruang keluarga. Kami mengintip sekilas ke arah ruang keluarga. Luthfi rupanya sedang bermain PlayStation bareng adiknya di ruang keluarga, dan ia baru saja kalah. Sayangnya, tepat saat ia melampiaskan amarah dengan cara berdiri dan membanting stik PS-nya ke lantai, ibunya datang.

"Alah, si Aa mah nyo'o PS wae (halah, si Mas kerjanya main PS mulu)," ucap ibu Luthfi sambil mencubit pipinya. Badan Luthfi yang lumayan tinggi—kayaknya nggak beda jauh denganku, sekitar 180-an sentimeter—mengakibatkan ia harus agak mendongak. "Sok, atuh, ka depan. Eta tos aya babaturanana. (Sana, ke depan. Sudah ada temannya.)"

"Iya, Mamih," jawab Luthfi memelas. Melihat adegan tersebut, aku dan Emma terkekeh. Luthfi, di sisi lain, nggak begitu terlihat terhibur begitu menemui kami di ruang tamu.

"Si Chakra, ya?" Rupanya, Luthfi langsung ngeh akan tujuan kedatangan kami. "Hayuk."

Luthfi rupanya memilih untuk menjamu kami di kamarnya yang terletak di lantai dua, yang sebenarnya merupakan situasi yang sempurna. Siapa tahu ada petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan Chakra di kamar Luthfi malam itu. Sambil melewati dapur, Luthfi nggak lupa memberitahu ke ibunya yang sedang memasak, "Mih, siropnya dianter ke kamar Aa aja, ya!"

"Kamu ikut, Em?" tanyaku.

Emma mengangguk penuh keyakinan. "Lagian Chakra juga udah sering, kok, masuk ke kamar aku."

Kamar Luthfi, yang ia tempati berdua dengan adiknya yang baru lulus SLTP, berantakan, meski masih jauh lebih rapi dari kamar kosku dengan Chakra. Mungkin karena Luthfi masih tinggal dengan orangtua dan mungkin pembantu, sehingga ia nggak diharuskan melakukan apa-apa sendiri. Untuk sejenak aku jadi kangen rumahku di Solo, di mana segala sesuatu sudah disediakan orang lain untukku sehingga aku tinggal makan, tidur, dan sekolah. Nggak kayak di sini.

Luthfi merogoh laci meja belajarnya. Sementara ia mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam—kayak kaset, Walkman, dan beberapa lembar kertas bekas yang sudah nggak berbentuk—mataku sibuk menjelajahi judul-judul komik yang menghiasi rak bukunya. Koleksi komik Luthfi mampu membuat iri siapa pun yang melihatnya. Mulai dari yang umum kayak Detektif Conan atau Dragon Ball, hingga yang agak langka kayak komik-komik silat zaman dulu. Pantas saja Chakra sering minjam komik ke Luthfi dulu.

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang