[ JEROEN ]
(shoutout to andin si wortel oranye yang udah bikinin thank-you banner uwe.)
WAKTU ITU, AKU bangun pagi-pagi sekali meski semalaman aku kurang tidur karena menunggu Chakra yang nggak pulang-pulang. Ini kebiasaan zaman sekolah yang susah hilang, bahkan setelah aku sudah nggak sekolah lagi—entah kenapa, meski aku baru tidur jam empat subuh sekalipun, aku akan selalu bangun jam setengah lima. Aku bahkan nggak pakai alarm sama sekali.
Begitu aku membuka mataku, Chakra nggak ada, sehingga aku menduga dia menginap di rumah Luthfi. Luthfi adalah salah satu dari teman-temannya yang bejibun di sekolah. Semalam, Chakra memang pergi ke rumahnya Luthfi untuk mengembalikan komik Dragon Ball-nya yang sudah berbulan-bulan dia pinjam. Aku bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar indekos kami menuju ruang tamu, bermaksud untuk menelepon Luthfi cuma untuk konfirmasi.
Chakra seringkali mengingatkanku akan layang-layang putus—ia nggak terikat pada tempat atau orang tertentu. Hidupnya mengikuti arah angin, mengikuti arus tanpa tujuan konkret yang ingin dia capai. Salah satu perwujudan jiwanya yang bebas ini terletak pada kebiasaannya keluar malam dan menginap di rumah teman-temannya, tiap malam di rumah orang yang berbeda. Saat ada orang yang menanyakan Chakra di mana alamat rumahnya, ia akan menjawab kalau ia hidup nomaden.
Dan karena layang-layang yang putus pasti akan berakhir jatuh di tempat yang jauh dari pemiliknya, aku sering mendapati diriku sendiri mengkhawatirkan Chakra, hingga kadang-kadang cenderung berlebihan. "Kowe iki koyok mbokku wae (Kamu ini kayak ibuku saja)," keluh Chakra dalam bahasa Jawa suatu hari saat aku menghibahkan ponsel yang baru kuperoleh dari orang tuaku padanya—aku, omong-omong, merupakan salah satu dari sedikit orang di sekolah kami dulu yang punya ponsel—agar aku bisa menghubunginya kapan saja. "Aku iki wong, Jer. Bukan layang-layang putus. Aku mungkin sering keluar-keluar nggak jelas, tapi ujung-ujungnya aku selalu balik." (Kemudian, sambil melempar ponselku ke kasur, ia berkomentar, "Lagian aku juga nggak tahu cara makai HP.")
Omong-omong, pada akhirnya aku nggak jadi menelepon Luthfi, karena satu-satunya telepon yang ada di indekos kami sedang dipakai oleh Pak Ammar, bapak kos kami. Secara nggak sengaja aku menguping pembicaraannya dari bawah tangga, dan dari sedikit yang aku dengar, aku ada feeling kalau apa pun yang dibicarakan siapa pun di ujung lain telepon pasti nggak bagus. Nada bicara Pak Ammar saat menjawab siapa pun yang ada di sana menunjukkan kepanikan dan ketidakpercayaan, dan aku berkali-kali dapat mendengar sahutan "apa?" "seriusan?" dan "astaghfirullahaladzim" keluar dari mulutnya.
Aku memutuskan untuk naik kembali ke kamarku saat Pak Ammar tahu-tahu menoleh dan mendapatiku masih berdiri di dekat tangga. "Oh. Jeroen udah bangun?" tanyanya, setengah alisnya yang tebal dinaikkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Chakra Masih di Sini
General Fiction[16+] semuanya lebih mudah sebelum dia pergi; Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...