E M M A
BEGITU AKU TIBA di rumah, aku langsung disambut oleh Mama, yang menatapku nanar. Ia sedang menonton film di TV sambil menyesap teh hangat, wajahnya dilumuri masker. Ini kebiasaan Mama kalau ia habis capek kerja seharian. Aku tahu, sebagai anak yang baik harusnya aku datang menghampirinya dan menawari untuk memijat punggungnya, tapi aku bukan anak yang baik.
Aku berusaha untuk menyelinap ke kamarku di lantai atas dengan sesunyi mungkin, supaya nggak ketahuan. Sayangnya, Mama rupanya lebih waspada dari yang kukira. Begitu aku berjalan sambil jinjit di tangga, lirikan Mama langsung terarah padaku.
"Emily Ratnasari Gunardi, kamu dari mana?" tanyanya tegas. Aku menelan ludah. Kalau Mama sudah memanggilku pakai nama lengkap, tamat riwayatku. "Udah Mama telepon nggak diangkat-angkat."
"Dari rumahnya Melissa?"
"Tadi Mama ke rumahnya Melissa kamu nggak ada."
Deg. Rupanya, rencanaku kabur nggak semulus yang kukira. Jelas aku nggak akan buka-bukaan kalau sepulang bimbel aku nungguin cowok berjam-jam di kosannya hanya untuk menciumnya dan kabur. Aku harus memikirkan alibi. "Ng, aku dari rumahnya Melissa makan dulu, Ma."
"Nggak dikasih makan kamu sama Tante Rossa?"
Shit. Aku baru ingat kalau tiap kali aku main ke rumah Melissa, Tante Rossa pasti bakal ngasih makan. Nggak cuma sekadar kue-kuean atau sirup juga—aku hampir selalu diberi makanan berat tiap kali ke sana, seringkali dimasak oleh Tante Rossa sendiri. Aku ingin langsung lari ke kamarku dan mengunci pintu, tapi aku nggak akan pernah bisa kabur dari bayang-bayang Ibu Rengganis Ratnasari yang mengancam.
"Sini, kamu." Mama mengayunkan lengannya saat memanggilku, seakan-akan aku ini kucing atau pembantu. Salah satu kekuranganku adalah nggak terlalu berani melawan Mama meski keinginanku besar, jadi aku nurut saja saat dipanggil.
Mama langsung menjewer telingaku. Keras banget. Untuk sepersekian detik, aku khawatir kalau telingaku bisa putus karenanya. "Mama udah bilang berkali-kali kan, kamu tuh nggak boleh kelayapan sampai malam? Udah kelas tiga tuh harusnya kamu fokus belajar, jangan banyak main. Melissa aja tadi pas Mama datang ke rumahnya dia lagi belajar, lho. Kasihan Mama sama Melissa, dianya lagi fokus merjuangin masa depan kamu malah jadiin dia tameng."
"Mama juga biasanya nggak peduli aku pulang jam berapa!" Saat itu, aku benar-benar marah dengan Mama. "Mama nggak pernah peduli, kan, sama aku mah? Yang penting aku ranking, yang penting aku nilainya bagus."
"Tapi belakangan ini kamu tambah berani, lho, Mama lihat. Kemarin juga waktu sama Tante Rossa kamu kabur, kan? Kayak udah nggak ada respek aja kamu sama Mama."
"Memangnya kenapa aku harus respek ke Mama, saat Mama saja nggak pernah respek sama aku? Apa-apa aku harus nurutin kemauannya Mama. Harus masuk IPA. Harus dapat nilai bagus di nilai ini itu. Harus masuk kedokteran UI. Tapi Mama pernah, nggak, sih, mikirin apa yang aku mau? Nggak, kan?"
"Emily Ratnasari Gunardi, sini kasih HP kamu ke Mama."
Aku menghela napas, mengeluarkan ponselku dari tas sekolah, dan menyerahkannya ke Mama.
"Ini HP nggak akan Mama balikin sampai THB[14]," ancam Mama. THB cawu pertama itu bulan Oktober. Yang berarti, selama se-enggaknya sebulan, aku nggak akan punya ponsel. "Nilai THB kamu rata-rata 8 ke atas, baru Mama balikin."
Ingin rasanya aku mengumpat. "Udah, gitu doang."
"Oh, iya, sama mulai sekarang kamu pulang sekolah, pulang les, segala macam diantar sama Kang Asep, ya." Kang Asep adalah sopir pribadi keluarga kami. "Biar kamunya nggak kelayapan nggak jelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Chakra Masih di Sini
General Fiction[16+] semuanya lebih mudah sebelum dia pergi; Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...