06. | konstelasi sagittarius [edited]

497 79 78
                                    


(shoutout to shine yang di bab lalu bilang gaya tulisan gue bagus padahal sesungguhnya ini tuh sangat biasa-biasa aja :" aku terhura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(shoutout to shine yang di bab lalu bilang gaya tulisan gue bagus padahal sesungguhnya ini tuh sangat biasa-biasa aja :" aku terhura.)

SAMBIL MENCELUPKAN KENTANG goreng ke dalam sundae yang tadi kupesan, aku bertanya-tanya kenapa aku mau-mau saja waktu Jeroen tahu-tahu meneleponku dan mengajakku ketemuan di A&W BIP. After all, bukannya aku nggak ingin ketemu dengan cowok itu lagi?

"Kamu nggak jijik, gitu, nyocolin french fries ke es krim?" tanya Jeroen, yang sedari tadi memperhatikanku makan. Dahinya mengkerut, ekspresi jijiknya sangat imut. Nggak, aku buru-buru menggelengkan kepala. Sekarang bukan waktunya buat mikirin hal-hal kayak gitu.

"Emangnya kenapa?" aku balik bertanya dengan ketus, meski dalam hati aku merasa agak malu lantaran Jeroen sekarang mengetahui salah satu kesukaanku. Kesukaan yang aneh, memang, namun tetap saja. Nggak banyak orang yang tahu kalau kombinasi asinnya kentang goreng dan manisnya es krim itu nggak tertandingi enaknya. "Omong-omong, kamu mau ketemuan sama aku gara-gara apa, sih?"

"Waktu itu kamu nelepon aku, kan?" Shit. Ketahuan. "Kok kamu bilang 'salah sambung', sih? Kan aku udah bilang, kalo kamu kenapa-kenapa, bilang aja. Aku nggak gigit kok."

"Kamu ngajak aku ketemuan di BIP cuman buat nanyain ini?" Aku kembali mencocol french fries-ku ke dalam sundae. Aku nggak peduli Jeroen menggangapku jorok atau enggak. Yang penting ini enak. 

"Nggak juga sih." Cowok itu berhenti sebentar untuk menguap. Agaknya ia memang kurang tidur belakangan ini—kantung matanya, yang kayaknya memang bawaan, terliat lebih kentara. Mungkin itu alasan kenapa ia kembali memakai kacamata bulatnya hari ini. Sejak naik ke kelas dua, ia lebih sering mengenakan lensa kontak. Aku bertanya-tanya apakah kehilangan Chakra bikin ia sekacau ini. "Inget, kan, waktu aku bilang kamu tinggal nelpon aku aja kalo kenapa-kenapa? Nah, aku lagi kenapa-kenapa, Em," jawabnya seolah-olah ia membaca pikiranku. "Kemarin pas UMPTN aku sampai kena serangan panik."

Saat itulah aku tahu-tahu dapat melihat sisi rapuh yang selama ini Jeroen sembunyikan di balik eksteriornya yang ramah dan selalu berusaha membahagiakan semua orang. Mungkin Jeroen sebenarnya sama aja denganku, pikirku. Memendam perasaannya di balik topeng. 

Kami berdua sama-sama terguncang sejak hari itu. Aku nggak pernah menduga kalau rasa kehilangan yang dialami Jeroen bakal membuatnya kurang tidur dan mengalami serangan panik. Serangan panik jelas bukan urusan main-main.

"Jadi...?"

"Aku jadi takut nggak masuk ITB gegara serangan panik itu tadi. Habisnya aku ngerjain soalnya ngasal." 

Mendengar Jeroen menyebut ITB, aku kembali mengingat percakapan yang pernah kumiliki dengan Chakra beberapa waktu lalu, sebelum Insiden Itu dan sebelum aku putus dengannya. Waktu itu Chakra mengajakku menyelinap masuk Bosscha malam-malam. Chakra menggeser tuas di lantai dan membuka langit observatorium seakan-akan ia sudah ahli, dan kemudian ia mengajakku melihat bintang dengan teropong. Awalnya, Chakra seakan-akan asyik sendiri dengan teleskop raksasa di tengah ruangan, sementara aku sibuk memeluk diriku dengan jaket. Suhu malam itu dingin banget. Mungkin lima belas derajat, mungkin kurang. Maklum, tengah-tengah musim kemarau. 

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang