[16+]
semuanya lebih mudah sebelum dia pergi;
Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[ EMMA ]
(shoutout to shan, kakak tingkat beda fakultasku, yang mau-maunya dihasut buat baca buku abal ini. a̶l̶s̶o̶ ̶b̶e̶r̶i̶ ̶a̶k̶u̶ ̶m̶o̶t̶i̶v̶a̶s̶i̶ ̶m̶u̶l̶a̶i̶ ̶m̶e̶m̶b̶u̶a̶t̶ ̶t̶u̶g̶a̶s̶-̶t̶u̶g̶a̶s̶ ̶p̶p̶s̶m̶b̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶e̶j̶i̶b̶u̶n̶ ̶i̶t̶u̶.̶)
KOTA BANDUNG DIGUYUR hujan deras sore itu, seakan-akan bahkan bumi pun berkabung atas kematian Chakra. Begitu aku tiba di indekosnya yang dijadikan rumah duka, suasana sesak dan ramai. Aku sebenarnya sudah lumayan menduga kalau banyak orang akan datang buat berbela sungkawa-mantan kakak kelasku itu, after all, adalah salah satu anak paling terkenal di SMU kami dulu, dan kecelakaan yang merenggut nyawanya kemarin malam bahkan disiarkan di TV nasional. Meski di antara mereka aku nggak tahu yang mana yang benar-benar merasa kehilangan.
Satu per satu orang yang melayat datang menghampiri pakde dan budhenya—sosok yang selama ini membesarkan Chakra, karena ia yatim piatu—yang jauh-jauh datang dari Solo begitu mereka mendengar kalau keponakan mereka, yang selama ini sudah mereka anggap anak sendiri, meninggal. Entahlah. Sorot mata menyiratkan kalau mereka masih nggak percaya akan segala sesuatu yang terjadi, bahkan selagi orang-orang datang menghampiri mereka untuk menyatakan bela sungkawa mereka. Mungkin semalam sebelum Chakra ditabrak mobil dan meninggal, ia baru saja menelepon mereka untuk mengumumkan dengan bangga kalau ia baru saja lulus SMU. Kalau nggak salah, kemarin itu pengumuman kelulusan SMU, nggak, sih?
Aku, di sisi lain, cuma bisa memandangi mereka semua dengan tatapan kosong sambil sesekali menguping perkataan masing-masing tamu yang "berduka"—diberi tanda kutip, karena aku nggak tahu yang mana di antara mereka yang benar-benar berduka atau cuma sok-sokan kasihan.
"Chakra itu anaknya baik," kata salah satu guru BP kami, Pak Hikmat, begitu ia menghampiri pakde dan budhe Chakra. "Dia memang agak nyentrik-namun justru itulah yang membuat dia mudah dikenang banyak orang. Saya ingat, ia pernah mencoret-coret mobil saya dengan piloks lantaran iseng. Yah, namanya juga anak muda." Pak Hikmat terkekeh sedikit, dan aku nggak tahu apakah tawa mirisnya itu dipaksakan atau tidak. "Tadinya, saya sempat mengira kalau suatu hari ia akan menjadi orang sukses begitu kami bertemu lagi. Saya sama sekali nggak nyangka—" kata-katanya sempat tersendat oleh isakan, "—Chakra akan begitu cepat meninggalkan kita."
Halah. Aku memutar mata mendengar segala bualan yang keluar dari mulut pria berusia empat puluhan itu. Pak Hikmat bahkan nggak pernah baik pada Chakra waktu dia masih hidup. Aku masih ingat bagaimana beliau pernah memberitahu Chakra kalau anak seperti dia "nggak tahu diri dan nggak mungkin bisa punya masa depan" saat Chakra bilang kalau ia ingin masuk ITB. Insiden pencoret-coretan mobil dengan piloks itu adalah bentuk balas dendam Chakra terhadap Pak Hikmat yang ia anggap telah menganggap remeh dirinya, dan Pak Hikmat kini malah menggangap itu sebagai sebuah candaan. Bagiku, wajar saja kalau waktu itu Chakra marah. Seseorang nggak semestinya dianggap nggak punya masa depan cuma karena ia lebih senang mengadu kecepatan motor dengan teman-temannya alih-alih menghafal rumus kecepatan.