17. | hari di mana gunung berapi coca-colaku meletus

45 11 44
                                    



[ JEROEN ]


SEBELUM OSPEK DIMULAI, aku sempat pulang ke Solo selama akhir pekan. Sebagian karena aku kangen Bapak dan Ibu dan sedang butuh banget dukungan mereka, sebagian karena ingin mengambil barang-barang yang ketinggalan di sana, dan sebagian karena aku ingin menanyakan lebih lanjut tentang kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtua Chakra tujuh tahun lalu.

Waktu aku mengungkitnya di meja makan saat kami sarapan pagi sekeluarga, Ibu sampai hampir tersedak nasi liwet yang tengah ia makan. "Kok kamu nanya gitu, Je?"

Aku mengangkat bahu. Aku nggak tahu bagaimana menjelaskan ke kedua orangtuaku kalau keponakan tersayang mereka, yang selama ini mereka cintai layaknya anak sendiri, meninggal karena kemungkinan besar bunuh diri. "Penasaran aja, sih. Jeje belakangan mimpiin Chakra terus, soalnya, Bu. Mimpinya tentang kecelakaan dia terus."

Ekspresi wajah Ibu langsung berubah khawatir. Agaknya, sebagian kecil dari dirinya sebenarnya nggak rela melihatku tinggal jauh dan hanya pulang tiap kali diminta. Apalagi begitu tahu tiap kali anaknya pulang, kayaknya selalu ada hal yang salah dalam dirinya. Ibu meraih rambutku dan mulai mengelus-elusnya. "Oalah. Pantesan, pas Ibu ketemu kamu, kok tiba-tiba kantung mata kamu gede banget?"

"Waktu itu mereka liburan keluarga," Bapak, yang sedari tadi membaca koran pagi sambil menyesap kopi—tipikal adegan pembukaan film keluarga banget, memang—ikut nimbrung. "Mau ngerayain Tahun Baru, Om Budi sama Bulik Wulan itu. Nah, waktu itu kebetulan Bulik Wulan lagi hamil, tapi ngidamnya ke pantai. Jadilah Om Budi ngajak sekeluarga liburan ke Pelabuhan Ratu. Nah, diajaklah juga Chakra.

Cuma waktu itu, setelah ngerayain Tahun Baru, Om Budi sama sekali ndak nyangka nek Bulik Wulan mau melahirkan. Padahal baru hamil 7 bulan, lho, bulikmu itu! Jadilah, habis salat Subuh, mereka mau nggak mau balik ke kota buat nyari rumah sakit. Nah, gara-gara itu Chakra sempat ngambek. Soale dia bilang dia masih mau main di pantai waktu Tahun Baru. Ndak terima dia. Nah, gara-gara itu, Om Budi ndak konsen. Tergelincirlah, mereka, di jalan."

Mendengar cerita lengkap dari Bapak, segala sesuatu mulai masuk akal. Tapi aku perlu meyakinkan diri lebih jauh. "Bapak kok saged ngertos? (Bapak kok bisa tahu?)[9]"

"Wong Chakra sing cerita karo Bapak, kok. (Orang Chakra yang cerita ke Bapak, kok)?"

"Chakra sempat cerios kalih Bapak? (Chakra sempat cerita sama Bapak?)"

Bapak mengangguk. "Dia ndak cerita ke kamu, po?"

Aku menggeleng. Selama ini, yang aku tahu dari Chakra di tahun-tahun awal setelah kematian kedua orangtuanya adalah betapa tangguhnya dirinya meski ia baru saja terkena musibah. Yang Chakra tunjukkan padaku, bahkan selama kami berbagi kamar di lantai dua dan kemana-mana bareng, adalah senyum ceria dan tanda tawa tanpa peduli apa yang terjadi.

Ternyata, di balik itu semua, Chakra menyimpan rasa bersalah yang bahkan jauh lebih dalam dari yang dideskripsikan Emma padaku. Bukan hanya kedua orangtuanya, Chakra merasa bahwa ia telah membunuh adiknya yang belum lahir.

Aku menelan air putih yang disajikan Ibu untukku, meski memaksakan air turun dari tenggorokanku terasa berat. Aku nggak tahu apakah pantas kalau aku mengungkit-ungkit kecelakaan yang merenggut nyawa Chakra dengan cara yang sama tiga bulan lalu, tapi aku tetap melakukannya. "Bapak sama Ibu sadar, nggak, kalau Om Budi sama Bulik Wulan sama Chakra meninggalnya sama-sama gara-gara kecelakaan?"

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang