[16+]
semuanya lebih mudah sebelum dia pergi;
Pada musim panas tahun 1999, dunia Emma dan Jeroen terguncang saat sahabat mereka, Chakra, tahu-tahu meninggal dunia. Tidak ada yang tahu alasannya kenapa. Beberapa hanya menganggap kejadian itu kecelaka...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[ JEROEN ]
(shoutout to rin yang telah fangirling halu akan j̶i̶m̶i̶n̶ chakra pas adegan cipokan yang di bab 2 itu.)
BEBERAPA HARI BERIKUTNYA seolah-olah terasa nggak nyata. Setelah bertahun-tahun aku sekamar dengan Chakra, aneh rasanya kembali tidur sendiri seperti yang biasa kulakukan dulu sebelum Chakra tinggal dengan keluargaku. Segala sesuatu di dalam kosan kami tetap sama selayaknya saat Chakra masih di sini—sisi kamarnya, yang terbentang dari tengah kasur sampai jendela, masih berantakan, dengan pakaian bekasnya tercecer dimana-mana dan bau rokoknya masih memenuhi kamar kami yang pengap.
Omong-omong tentang rumah, Ibu dan Bapak memutuskan untuk menetap sebentar di Bandung seusai pemakaman Chakra untuk mengantarku wisuda. Wisuda SMU kami, yang harusnya penuh dengan hangatnya kebersamaan terakhir antara teman-teman seangkatan, malah terasa hampa. Dan yang merasakannya bukan cuma aku—Chakra adalah the life of the party, sosok pentolan angkatan kami yang disukai semua orang meski ia nggak pernah dengan sengaja mengubah jati dirinya agar disukai. Kehampaan ini paling jelas terasa waktu Ibu Kepsek membacakan pidato sanjungan untuk Chakra (beliau menyebutnya "salah satu insan cemerlang kami yang telah lebih dahulu pergi"), saat anak itu seharusnya maju ke depan dan menerima medali seperti kami semua.
"Jadi rencana kamu gimana?" tanya Ibu saat kami makan siang di Mie Naripan—langganan orangtuaku tiap kali ke Bandung—seusai wisuda. "Nek kowe ora siap, nunda setahun wae (kalau kamu masih belum siap, nunda setahun saja)." Aku tahu mungkin Ibu berpikir aku masih butuh waktu
Namun aku menggeleng. "Jeje masih mau masuk ITB, Bu," jawabku, memanggil diri sendiri dengan nama kecilku yang biasanya hanya digunakan di rumah. "ITB itu alasan aku sama Chakra sampai jauh-jauh sekolah di Bandung." ITB-lah alasan kenapa aku setuju dengan usulan Chakra untuk sekolah di Bandung cuma karena ia ingin mengalami rasanya merantau. (Saat aku menanyakan Chakra kenapa Bandung dari semua kota besar yang ada di Indonesia, sepupuku itu bilang, "Karena hampir semua idolaku dari sana. Muhammad Toha. Ricky Subagja. Nike Ardilla. Rame, tapi nggak serame Jakarta. Oh, sama makanannya enak-enak.") Kalau bukan karena Chakra, mungkin sampai sekarang aku belum berani untuk keluar dari zona nyamanku.
Bandung adalah mimpi kami bersama. Dan menjalani mimpi itu sendirian sekarang rasanya aneh, kalau nggak bisa dibilang salah.
Saat keesokan harinya aku mengerjakan UMPTN, yang ada di pikiranku cuma bagaimana Chakra seharusnya berkutat dengan soal-soal yang sama dengan soal-soal level olimpiade yang tengah kuhadapi. Kata-kata Chakra waktu kami duduk-duduk di dekat Indonesia Tenggelam nggak lama sebelum ia meninggal kembali terngiang di telingaku—tentang bagaimana ia sebenarya ingin masuk ITB dan mempelajari astronomi, meski ia membiarkan takdir hidup menentukan ke mana ia mau pergi. Siang itu, kami membayangkan masa depan kami sebagai mahasiswa Kampus Ganesha yang berjalan bareng sambil tertawa-tawa di dekat Indonesia Tenggelam sebelum berpisah ke kelas masing-masing. Baik aku maupun Chakra sendiri sama sekali nggak menyangka kalau ia ditakdirkan untuk direnggut nyawanya oleh sebuah kecelakaan aneh. Hal-hal yang berseliweran di otakku membuatku mendadak lupa akan rumus-rumus Fisika dan senyawa-senyawa Kimia yang beberapa bulan terakhir kupelajari mati-matian.