12. | le petit prince [edited]

255 40 39
                                    

[ EMMA ]


(shoutout to yasmine yang apparently ngeship (?) chakra dan emma dengan sepenuh hati)


MAWAR YANG DIBERIKAN Chakra padaku di malam kematiannya persis sama dengan mawar-mawar yang berjejer di halaman rumah Luthfi. Oke, mungkin nggak sama persis. Tapi yang jelas, mawar-mawar itu mengingatkanku akan mawar yang waktu itu Chakra berikan padaku saat ia mengajakku balikan.

Aku nggak tahu apakah Jeroen, yang waktu itu kuberitahu tentang mawar dan ciuman dan segalanya, memperhatikannya. Kami hanya menyusuri jejeran kebun bunga di sekitar rumah Luthfi dalam diam, karena motor Jeroen diparkir lumayan jauh dari sini. Seandainya kami tokoh-tokoh di sebuah film atau telenovela picisan, mungkin ini bisa jadi adegan romantis.

Sayangnya, duka dan rasa kehilangan sama sekali nggak ada romantis-romantisnya.

"Mau tak anterin balik ke tempat tadi?" Jeroen menyalakan kunci motornya—oke, secara teknis itu sebenarnya bukan motornya, tapi biarlah.

Buru-buru aku menggeleng. "Nggak mau." Toh, tujuan utamaku ada di sini juga karena aku ingin memberontak. Kabur dari Mama. Kalau aku dicoret dari kartu keluarga karenanya, aku sudah bodo amat.

"Ya udah. Kalo gitu, temenin aku makan, yuk? Hari ini aku belum makan nasi."

Temenin aku makan, yuk? Persis kayak pertanyaan yang kerap diajukan seorang cowok pada pacarnya. Dan saat kami pada akhirnya makan siang di sebuah warteg dekat kampus IKIP, aku nggak bisa berhenti memikirkan tentang bagaimana belakangan ini aku dan Jeroen semakin kayak orang pacaran, meskipun sebelumnya aku nggak pernah benar-benar dekat dengannya. Lebih tepatnya, aku yang sengaja menjaga jarak dengan Jeroen, meskipun ia nggak henti-hentinya berusaha dekat denganku. Bahkan saat aku dan Chakra masih "pacaran", cowok itu sering melakukan hal-hal kecil kayak meminjamkanku buku bacaan atau menawarkan mengajariku materi pelajaran yang nggak kumengerti. Aku hampir selalu menolak.

Sekarang, mumpung Chakra nggak di sini, Jeroen mulai menjemputku pulang sekolah dan mengajakku makan bareng, seakan-akan aku ini pacarnya. Seakan-akan keinginannya untuk dekat denganku akhirnya terkabul.

Nggak. Aku nggak boleh membiarkan diriku luluh.

"Ada rokok nggak?" tanya Jeroen sesudah ia makan. Cowok berhidung bangir itu entah kenapa cepat banget makannya—dalam waktu hanya tiga menitan, sepiring nasi campur di depannya sudah ludes. Dari tadi aku cuma memandangi cowok itu makan sambil minum es teh manis.

"Fakir udud, ya, kamu mah, dari dulu." Aku mengeluarkan sekotak Sampoerna yang kemarin kubeli diam-diam dan menyerahkannya pada Jeroen. Waktu krisis moneter sedang gila-gilanya kemarin, aku memang sempat menjadi pemasok utama kebutuhan merokok Chakra dan Jeroen lantaran uang bulanan mereka dipotong. Situasi Solo yang waktu itu sedang rusuh-rusuhnya juga sama sekali nggak membantu. "Merokok menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin," kataku waktu itu, meski nggak lama kemudian aku ikut merokok bareng mereka di taman sebelah sekolah.

Jeroen mengambil sebatang, menyalakannya, dan mengisapnya dalam-dalam. "Belakangan teh aku jadi lebih sering nyebat," ujarnya. "Kamu apa kabar, Em?"

"Nggak baik-baik banget," jawabku. "Kamu tahu, kan, aku ngikut kamu cuma buat kabur?"

Jeroen terkekeh kecil. Aku tahu sebenarnya ia sudah hapal akan betapa jeleknya hubunganku dengan Mama, karena aku memang sering menceritakannya pada Chakra. Bosan, malah.

Saat Chakra Masih di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang