Hello everyone. Apa kabar? How was your day? Piye kabare? Baik-baik saja kan ya? Masih nungguin si nama susah enggak nih? Semoga masih yaa...
Kalau masih yuk capcus baca
Jangan lupa vote dan komen
Thank you
****
Usai kejadian seminggu lalu membuat Batrisyia Bestari Eunoia Rembulan berada. Di depan gedung dengan banyak lantai. Gedung itu megah dan berkesan vintage. Mungkin karena nuansa yang kebanyakan cokelat batu bata. Lingkungan di sekitar sekolah ini tampak asri. Di pinggir gedung ada dua pohon besar yang mengapit gedung. Area depan sekolah juga ada rerumputan yang rapi. Tidak banyak yang berdiri sampai tinggi dan membuat gatal.
Gedung itu ia tatap lama. Dalam hati mengharapkan sebuah kebahagiaan di sekolah yang ia tidak inginkan. Diamond Star SHS adalah daftar sekolah yang ia sangat benci. Ia tahu kalau di swasta banyak kejutan yang tidak terdefinisikan. Dengan berat ia melangkah masuk menyusul kedua orang tuanya yang membantu membawakan koper.
Area koridor depan ini sangat mewah. Mata indah itu membulat sempurna saat melihat 2 eskalator. Belum lagi pembatas di lantai dua pakai kaca. Jadi, risiko siswa jatuh berkurang. Eunoia menoleh ke kanan ke kiri. Warna dan seragam sekolah ini sangat bagus. Almamater biru tua dengan ukuran slim fit dan dipadu rok atau celana abu-abu. Untuk siswi memakai dasi biru senada dengan almamater dan untuk siswa dasi warna hitam.
Eunoia terus melangkah ke arah ruang kepala sekolah. Langkahnya terhenti saat mendengar teriakan berisik para kaum hawa. Ia mencari sumber suara dan ternyata tidak jauh dari tempat ia berdiri. Para perempuan itu menggerakkan tangan seperti membentuk hati dan beberapa ada yang melayangkan fly kiss kepada 4 laki-laki yang sedang melintas ke arahnya. Eunoia menatap geli para perempuan itu. Idih, kayak enggak pernah lihat cowok aja? Eunoia membatin. Heran mengapa banyak yang memuja pria berlagak aneh. Dua jutek dan dua lagi tengil.
Tak mau ambil pusing, Eu melanjutkan langkah ke ruang kepala sekolah. Ia masuk ke dalam bersama kedua orang tua. Eu dan kedua orang tua disambut baik oleh kepala sekolah.
“Selamat datang, Ibu Yusnia dan Bapak Gilang serta Batrisyia Eunoia.” Pria berkumis lebat itu salaman dengan kedua orang tua Eu. “Silakan duduk.”
Setelah dipersilakan baru mereka bertiga duduk menghadap Kepala Sekolah. Kepala Sekolah itu bernama Mr. Alexandro. Alexandro sudah menempuh pendidikan sampai S3 di luar negeri. Mr. Alexandro menjelaskan peraturan di sekolah bergengsi ini. Ia memberitahu kalau siswa siswi yang sekolah di sini harus asrama.
Semua penjelasan sudah selesai. Mr. Alexandro menelepon Mrs. Ani selaku guru PKN minat sekaligus ibu asrama untuk datang membawakan kunci kamar. Ia juga menelepon Mr. Abraham untuk membawakan seragam dan buku-buku pelajaran.
Dua orang suruhan itu datang membawa pesanan Mr. Alexandro. Mereka memperkenalkan diri kepada keluarga Pak Gilang. Mereka mengobrol singkat saja dan langsung mengantarkan Eunoia ke kamar asrama.
Pintu diketuk terlebih dahulu. Tidak lama seorang gadis dengan postur tubuh mungil bantet muncul. Dahinya mengerut melihat kedatangan ibu asrama. “Ada apa, Mrs? Saya tidak ada lapor barang rusak perasaan.”
Mrs. Ani tersenyum dan menyuruh Eu berdiri di sampingnya. “Giana, kamu ‘kan sharing rasa single ya. Kamu tahu ‘kan kalau peraturan di sini itu setiap kamar yang memesan sharing harus ada teman kamar. Nah, berhubung kamu tidak dapat jadi ibu kasih kamu roommate. Kamu enggak keberatan kan?” tanya Mrs. Ani.
“Oh enggak, Mrs.” Giana menoleh kepada teman barunya. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangan. “Halo. Aku Giana Christianti Panjaitan.”
Eunoia membalas jabat tangan itu. “Aku Batrisyia Bestari Eunoia,” balas Eu kikuk. Ia melepaskan jabat tangan itu.
“Giana. Saya Mamanya Eunoia. Maklum ya Eu ini agak pendiam,” jelas Yusnia. Takut kalau Giana tersinggung oleh respons anaknya.
Mrs. Ani, Mama, Papa, dan Eu masuk ke kamar. Setelah mengobrol dan Mama membantu membereskan barang Eunoia, baru pulang. Sebelum pulang Eunoia dan Mamanya berpelukan. Yusnia memberikan pesan lumayan banyak kepada putrinya. Ia menangis saat berpisah oleh putri tunggal kesayangannya. Yusnia bernapas lega karena Eu tidak bertemu dengan Gilbert. Ia berharap kalau di sini bertemu teman yang baik.
Eu menghapus air mata yang hampir menetes dan kembali ke kamar. Ia hanya diam di atas kasur sambil memainkan ponsel. Membalas pesan dari teman dekatnya ketika SMA. Bukan Tania lho ya....
Giana mendekat dan duduk di pinggir ranjang milik Eu. “Asal sekolah mana?” Untuk pembukaan memang harus pakai pertanyaan klise.
Eu bangkit dari posisinya. “SMA Utara,” jawab dia dengan nada sedikit ramah.
Giana mengangguk paham. “Nama kau agak susah ya. Tadi siapa namanya?”
“Batrisyia Bestari Eunoia Rembulan. Panggil Tria saja.”
“Oke, Tria.”
Eunoia yang tidak asing dengan logat bicara Giana menjadi penasaran. “Orang batak ya?”
Gadis berambut pendek itu mengangguk. “Iya dong. Batak pride. Terlalu kelihatan ya logat aku?” tanyanya.
“Iya kelihatan banget. Apalagi nama kamu kayak nama pahlawan revolusi.”
“Hahaha. Iya benar.”
Eunoia membetulkan posisi duduk. “Jurusan apa?” tanyanya.
Giana beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke meja belajar. Mengambil sebuah album berisi tour angkatan saat kelas 10. Wanita itu kembali mendekat dengan teman kamar baru. Ia membuka lembaran itu dan menunjukkan kepada Eu. “Jurusan IPA,” jawab Giana.
Eu turut mengamati isi album. Ketika melihat kelas 10 IPS 3 ia salah fokus dengan wajah yang tidak asing. Wajah kumpulan pria yang ia lihat tadi. “Mereka siapa? Kok tadi pas mau ke ruang kepala sekolah aku dengar para cewek berisik terus bertingkah alay?”
Foto 4 pria itu ditatap tajam. Jari telunjuk satu-satu menunjuk pria itu.
“Si jutek ini namanya Indra. Dia pelukis. Terus yang jutek agak senyum ini namanya Adi. Lanjut yang gaya metal ini Julian. Terakhir yang gigit kalung namanya Rangga. Mereka bukan orang sembarangan di sekolah ini.” Buku itu ditutup.
“Oh iya. Jangan sesekali mendekati Julian dan Rangga. Mereka sudah punya pacar dan pacar mereka berisik banget. Kalau mau caper mending ke Adi atau Indra kalau berani dekati Indra sih.”
Mendengar kata ‘kalau berani’ membangunkan rasa penasaran. “Memang ada apa dengan Indra?” Penuh tanda tanya isi kepala Eunoia.
“Indra ini si paling jutek. Setiap kali cewek dekati dia langsung ditepis. Banyak yang menyerah karena sikap dingin dia. Paling mereka mendekati Adi. Meski sering ditolak Adi juga, setidaknya Adi masih enggak sekejam Indra.”
Penjelasan itu membuat gadis berusia 17 tahun paham. Ia bertekad untuk tidak berurusan dengan yang namanya Indra. Ia juga akan menghindar setiap kali melihat Indra di mana pun. Bahkan di gazebo atau kantin. Ia akan menghindar.
♡♡♡
Langit malam ini tampak cantik. Dewi malam bersama pasukan bintang menghiasi di atas sana. Sambil ditemani dengan embusan angin malam yang menusuk tulang, seorang gadis dengan hoodie warna hitam sedang fokus di depan laptop. Air muka gadis itu selalu berubah karena pengaruh isi kepala. Terkadang ia senyum sendiri kadang menampilkan muka sedih kadang juga ekspresi bingung.
Malam ini ia tengah membuat cerita baru yang akan ia unggah di platform. Cerita yang ia buat kali ini ringan saja. Hari pertama masuk sekolah ini dan bertemu dengan gadis seceria Giana. Giana sejak tadi siang tidak berhenti mengoceh. Gadis itu selalu bercerita tentang apa saja bahkan kisah hidup dia.
Eunoia menyukai teman sekamarnya. Ia suka karena teman kamarnya ramah dan tidak seperti yang ia bayangkan. Malah Giana mau menerima Eu dan mengakrabkan diri. Begitu juga Eu. Ia harus bisa akrab dengan Giana. Eu menoleh ke belakang dan melihat kalau Giana sedang bermain ponsel. Mulutnya komat kamit entah membaca apa.
Lanjut lagi ke laptop. Satu halaman sudah berhasil ia susun. Senyum puas tercetak pada bibir merah muda itu. Tidak susah untuk seorang pengarang muda ini. Gadis ini sudah mencetak novel 2 kali tahun kemarin. Tema yang ia angkat adalah fiksi remaja. Kali ini tema ceritanya adalah kisah hidupnya. Otaknya sedang malas berpikir untuk mencari cerita yang bagus. Ia ingin mengabadikan momen saat di Diamond Star dalam bentuk tokoh dan karakter yang sedikit berbeda dengan asli.
Tria atau Eu tersentak saat ada yang menepuk pundak. Refleks ia menengok ke belakang. “Bikin kaget ih.” Gadis berambut pendek hanya tertawa melihat respons agak kesal dari Eunoia. “Kenapa, Gi?”
“Jalan-jalan yuk. Di sini ada tempat tongkrongan yang jajanannya banyak,” ajak Giana antusias.
“Boleh. Ayo.”
Mata Giana berbinar mendengar kalau ajakannya diterima. Di luar dugaan kalau gadis ini mau menerima ajakan dengan semangat. Tadi Giana berpikir kalau teman pendiamnya ini akan menolak. Tingkah Giana langsung berubah bak bocah girang habis dapat mainan.
Ketika di jalan, Giana berjalan sambil agak melompat. Hal itu sukses membuat Eunoia syok. Tingkah makhluk satu itu kok bisa tiba-tiba berubah. Padahal tadi siang tenang dan terlihat elegan. Namun, sekarang malah seperti bocah. Eu enggan mengambil pusing hal itu. Ia memaklumi saja sifat kekanakan Giana. Toh, tidak mengganggu.
Kedua gadis itu sampai di tempat tongkrongan. Ruangan terbuka dengan banyak kursi panjang terbuat dari beton yang disusun sepanjang tongkrongan. Ada sekitar 8 pasang kursi panjang. Kursi-kursi itu saling berhadapan.
Sebelum duduk, kedua gadis itu memesan minuman saset rasa buah yang diblender. Mata mereka mengedar untuk mencari tempat kosong. Meski weekdays tetap saja tempat ini sudah seperti lautan manusia.
Giana memberi instruksi saat melihat ada yang kosong. Langsung saja mereka ke sana dan duduk. Eu dan Giana berbincang dan sesekali bercanda. Kedua gadis itu selfie selife menggunakan ponsel Eu. Mereka terlihat seperti teman lama di dalam foto itu. Giana merangkul bahu Eu dan Eu menutup satu mata.
“Permisi, Kak. Ini esnya.” Seorang pria besar menaruh dua gelas plastik di atas meja.
Giana menoleh kepada bapaknya. “Oke, Pak. Terima kasih. Tadi sudah bayar ya.” Giana mengingatkan.
“Oke, Kak.” Bapak itu langsung pergi dan kembali melayani pembeli yang lain.
Mata hazelnut mengabsen setiap sudut tempat ini. Ada satu pohon yang bagian badannya dijadikan tempat duduk dan di depan ada meja. Lalu, tempat ini ada banyak warung makan dan juga jajanan. Pemuda pemudi di tempat ini membuat syok. Mereka merokok bahkan menghisap vape.
Satu objek yang membuat Eu semakin syok adalah objek di paling pinggir dekat warung nasi ayam yang tengah menata kanvas dan alat lukis. Spot itu menjadi spot paling pas karena tidak ada yang mengusik pria itu.
Semakin melihat tingkah aneh itu, Eunoia semakin terhipnotis dan penasaran. Tanpa sadar satu tangan memangku dagu dan terus menatap intens pria yang sedang menuangkan cat.
Sadar sedang ditatap membuat pria itu menatap balik sang gadis. Bahkan satu sudut bibir pria itu ditarik. Mata elang milik Indra terus beradu sampai membuat orang yang melihatnya tadi kikuk dan buang muka.
Eunoia langsung berdehem dan mulai meminum minumannya. Ia kembali fokus mengobrol dengan Giana. Tanpa tahu kalau pria yang tadi dilihat menatap penuh arti. Entah persaingan, penasaran, atau memberi ultimatum.****
Tokoh
1. Alvarendra Kawindra Da Vinci Wicaksono : Lelaki teguh pendirian yang memiliki rasa seni.
2. Batrisyia Bestari Eunoia Rembulan : Gadis cerdas yang memiliki pemikiran yang indah
3. Adirangga Esa Baswara (Baswara : Cahaya. Adirangga : Perhiasan hidup yang indah).
4. Adiwangsa Dwi Baswara : Anak kedua yang memiliki sifat mulia dan bercahaya
5. Julian Putra Wijaya
6. Nazeela Putri Nugroho
7. Giana Christianti Panjaitan
KAMU SEDANG MEMBACA
11-01
Teen Fiction"Kita abadi pada karya masing-masing" Batrisyia Bestari Eunoia Rembulan pindah sekolah karena titah dari orang tuanya. Eunoia pindah ke sekolah bergengsi bernama Diamond Star Senior High School. Sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Eunoia ber...